PIDANA MATI MENURUT HUKUM PIDANA INDONESIA
KARYA TULIS ILMIAH
Oleh :
.....................
Nim : ............
FAKULTAS HUKUM
.............
201.
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kepada yang maha kuasa, karena berkat campur tangan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah dengan judul “Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia”.
Adapun maksud daripada pembuatan Karya Ilmiah ini adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi para penegak hukum dalam penyelesaian kasus -kasus Prospek Pengaturan Pidana Masyarakat.
Penulisan karya ilmiah ini tentu saja masih banyak kekurangan. Untuk itu demi kesempurnaannya, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya konstruktif.
Akhirnya, semoga Karya Ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan Ilmu
Hukum.
Manado, April 2017
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ i KATA PENGANTAR ............................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................ iii
C. Pidana Mati Dalam Perundang-Undangan Di
Indonesia ............................................................................. 10
D. Pidana Mati Dalam Rancangan KUHP............................... 11
E. Beberapa Pandangan Tentang Pidana Mati ........................ 14
BAB III PENUTUP ............................................................................. 21
A. Kesimpulan ...................................................................... 21
B. Saran ................................................................................ 21
DAFTAR PUSTAKA .. .............................................................................. 23
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sebenarnya tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan-kejahatan yang berat dan pidana mat! dalam sejarah hukum pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan yang berkaitan erat. Hal ini nampak dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatan-kejahatan berat dengan pidana mati.
Waktu berjalan terus dan di pelbagai negara terjadi perubahan dan perkembangan baru. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau ternyata sejarah pemidanaan dipelbagai bagian dunia mengungkapkan fakta dan data yang tidak sama mengenai permasalahan kedua komponen tersebut diatas. Dengan adanya pengungkapan fakta dan data berdasarkan penelitian sosio-kriminologis, maka harapan yang ditimbulkan pada masa lampau dengan adanya berbagai bentuk dan sifat pidana mati yang kejam agar kejahatan-kejahatan yang berat dapat dibasmi, dicegah atau dikurangkan, ternyata merupakan harapan hampa belaka.
Sejarah hukum pidana pada masa lampau mengungkapkan adanya sikap dan pendapat seolah-olah pidana mati merupakan obat yang paling mujarab terhadap kejahatan-kejahatan berat ataupun terhadap kejahatan-kejahatan lain. Dalam pada itu bukan saja pada masa lampau, sekarang pun masih ada yang melihat pidana mati sebagai obat yang paling mujarab untuk kejahatan.
Indonesia yang sedang mengadakan pembaharuan di bidang hukum pidananya, juga tidak terlepas dari persoalan pidana mati ini. Pihak pendukung dan
penentang pidana mati yang jumlahnya masing-masing cukup besar, mencoba untuk tetap mempertahankan pendapatnya. Hal ini tentu saja akan membawa pengaruh bagi terbentuknya suatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia yang baru, buatan bangsa sendiri, yang telah lama dicita-citakan.
B. PERUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah keberadaan pidana mati dalam hukum adat, Hukum
Islam, Perundang-undangan di Indonesia serta dalam Rancangan KUHP?
2. Bagaimanakah pandangan pemikiran tentang pidana mati ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. TUJUAN PEMIDANAAN
Masalah pemidanaan berhubungan erat dengan kehidupan seseorang dimasyarakat, terutama bila menyangkut kepentingan benda hukum yang paling berharga bagi kehidupan bermasyarakat yaitu nyawa dan kemerdekaan atau kebebasan.
Pada masa sekarang ini telah umum diterima pendapat bahwa yang menjatuhkan pidana adalah negara atau pemerintah dengan perantaraan alat-alat hukum pemerintah. Pemerintah dalam menjalankan hukum pidana selalu dihadapkan dengan suatu paradoxaliteit yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut : "Pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjamin supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tapi kadang-kadang sebaliknya, pemerintah negara menjatuhkan hukuman, dan justru menjatuhkan hukuman itu, maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah negara diserang, misalnya yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada satu pihak pemerintah negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapapun juga, sedangkan pada pihak lain, pemerintah negara menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu".
Dalam hukum pidana dikena! beberapa teori mengenai tujuan pemidanaan, antara lain, teori absolut (teori pembalasan), teori relatif (teori prevensi) dan teori gabungan. Teori absolut (pembalasan) menyatakan bahwa kejahatan sendirilah yang memuat anasir-anasir yang menuntut pidana dan yang membenarkan pidana
dijatuhkan. Teor! pembalasan ini pada dasarnya dibedakan atas corak subjektif yang pembalasannya ditujukan pada kesalahan si pembuat karena tercela dan corak objektit yang pembalasannya ditujukan sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakukan orang yang bersangkutan.
Teori relatif (prevensi) memberikan dasar dari pemidanaan pada pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh sebab itu tujuan dari pemidanaan adalah menghindarkan (prevensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Sifat prevensi dari pemidanaan adalah prevensi umum dan prevensi khusus, Menurut teori prevensi umum, tujuan pokok pemidanaan yang hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan pada khalayak ramai, kepada semua orang agar supaya tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat. Sedangkan menurut teori prevensi khusus, yang menjadi tujuan pemidanaan adalah mencegah si penjahat mengulangi lag! kejahatan atau menahan calon pelanggar melakukan perbuatan jahat yang telah direncanakannya. Teori gabungan mendasarkan jalan pikiran bahwa pidana hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun pada semua unsur yang ada.
Tujuan pemidanaan menurut konsep Rancangan KUHP 2008 dinyatakan dalam pasal 54, adalah sebagai berikut:
(1) Pemidanaan bertujuan:
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b.Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang balk dan berguna;
c. Menyelesaikan konffik yang ditimbulkan oleh tindak
pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
d.Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
Penjelasan Pasal 54, yakni Ayat (1) Pemidanaan merupakan suatu proses. Sebelum proses ini berjalan, peranan hakim penting sekali. Ia mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan menjatuhkan pidana terhadap tertuduh dalam kasus tertentu. Ketentuan dalam pasal ini dikemukakan tujuan dari pemidanaan, dan resosialisasi, pemenuhan pandangan hukum adat, serta aspek psikologis untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan. Ayat (2) Meskipun pidana pada dasamya merupakan suatu nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak merendahkan martabat manusia.
Keseluruhan teori pemidanaan baik yang bersifat prevensi umum dan prevensi khusus, pandangan perlindungan masyarakat, teori kemanfaatan, teori keseimbangan yang bersumber pada pandangan adat bangsa Indonesia maupun teori resosialisasi sudah tercakup didalamnya.
Menurut Muladi dalam perangkat tujuan pemidanaan tersebut harus tercakup dua hal, yaitu pertama harus sedikit banyak menampung aspirasi
masyarakat yang menuntut pembalasan sebagai pengimbangan atas dasar tingkat kesalahan si pelaku dan yang kedua harus tercakup tujuan pemidanaan berupa memelihara solidaritas masyarakat, pemidanaan harus diarahkan untuk memelihara dan mempertahankan kesatuan masyarakat.
B. PIDANA MATI DALAM HUKUM ADAT DAN HUKUM ISLAM
Pidana mati sudah dikenal oleh hampir semua suku di Indonesia. Berbagai macam delik yang dilakukan diancam dengan pidana mati. Cara melaksanakan pidana mati juga bermacam- macam; ditusuk dengan keris, ditenggelamkan, dijemur dibawah matahari hingga mati, ditumbuk kepalanya dengan alu dan Iain-lain.
Di Aceh seorang istri yang berzinah dibunuh. Di Batak, jika pembunuh tidak membayar yang salah dan keluarga dari yang terbunuh menyerahkan untuk pidana mati, maka pidana mati segera dilaksanakan. Demikian pula bila seseorang melanggar perintah perkawinan yang eksogami.
Kalau di Minangkabau menurut pendapat konservatif dari Datuk Ketemanggungan dikenal hukum membalas, siapa yang mencurahkan darah juga dicurahkan darahnya. Sedangkan di Cirebon penculik-penculik atau perampok wanita apakah penduduk asli atau asing yang menculik atau menggadaikan pada orang Cirebon dianggap kejahatan yang dapat dipidana mati. D\ Bali pidana mati juga diancamkan bag'i pe\aku kawln sumban Dikalangan suku dari Tenggara Kalimantan orang yang bersumpah palsu dipidana mati dengan jalan ditenggelamkan. Di Sulawesi Selatan pemberontakan terhadap pemerintah kalau
yang bersalah tak mau pergi ke tempat pembuangannya, maka ia boleh dibunuh oleh setiap orang.
Di Sulawesi Tengah seorang wanita kabisenya yaitu seorang wanita yang berhubungan dengan seorang pria batua yaitu budak, maka tanpa melihat proses dipidana mati. Di Kepulauan Aru orang yang membawa dengan senjata mukah, kalau ia tak dapat membayar denda ia dipidana mati.
Di Pulau Bonerate, pencuri-pencuri dipidana mati dengan jalan tidak diberi makan, pencuri itu diikat kaki tangannya kemudian ditidurkan di bawah matahari hingga mati. Di Nias bila dalam tempo tiga hari belum memberikan uang sebagai harga darah pada keiuarga korban, maka pidana mati diterapkan.
Di pulau Timor, tiap-tiap kerugian dari kesehatan atau milik orang harus dibayar atau dibalaskan. Balasan itu dapat berupa pidana mati. Sedangkan di Lampung terdapat beberapa delik yang diancamkan dengan pidana mati yaitu pembunuhan, delik salah putih (zinah antara bapak atau ibu dengan anaknya atau antara mertua dengan menantu dsb) dan berzinah dengan istri orang lain.
Dengan melihat uraian diatas dapat disimpulkan bahwa suku-suku bangsa Indonesa telah mengenal pidana mati jauh sebelum bangsa Belanda datang. Jadi bukan bangsa Belanda dengan WvS-nya yang memperkenalkan pidana mati itu pada bangsa Indonesia.
Ancaman pidana mati juga dikenal dalam hukum Islam yang dikenal dengan nama Qishash. Pandangan Islam terhadap pidana mati tercantum dalam Surat AIBaQarah ayat 178 dan 179, yang terjemahannya sebagai berikut.
Ayat 178: "Hai orang- orang yang beriman, diwajibkan atasmu Qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudara terbunuh, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar diyah kepada pihak yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah satu keringanan hukuman yang telah diisyarakatkan Tuhanmu, sementara untukmu adalah menjadi rahmat pula. Siapa yang melanggar sesudah itu akan memperoleh siksa yang pedih."
Ayat 179 : * Dalam hukum Qishash itu ada (jaminan) kelangsungan hidup, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa".
Qishash dalam hukum Islam adalah hukuman bunuh yang harus dilaksanakan terhadap diri seseorang yang telah melakukan pembunuhan. Tap! hukum ini tak harus dilaksanakan, dengan kata lain hukum ini dapat gugur manakala ahli waris yang terbunuh memberi maaf kepada pihak yang membunuh dengan membayar suatu diyah. Diyah adalah hukuman denda yang disetujui oleh kedua belah pihak atau yang ditentukan oleh hakim, apabila ahli waris yang terbunuh memaafkan si pembunuh dari hukuman Qishash.
C. PIDANA MATI DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Roeslan Saleh dalam bukunya Stelsel Pidana Indonesia mengatakan bahwa
KUHP Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati atas
beberapa kejahatan yang berat-berat saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan-kejahatan yang berat itu adalah :
1. Pasal 104 (makar terhadap presiden dan wakil presiden)
2. Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan itu ditakukan atau jadi perang)
3. Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang)
4. Pasal 140 ayat 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut)
5. Pasal 340 (pembunuhan berencana)
6. Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati)
7. Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati)
8. Pasal 444 (pembajakan di laut, pesisirdan sungai yang mengakibatkan kematian).
D. PIDANA MATI DALAM RANCANGAN KUHP
Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Semarang tahun 1990
Muladi menyatakan bahwa hukum pidana tidak boleh hanya berorientasi pada perbuatan manusia saja (daadstrafrecht), sebab dengan demikian hukum pidana menjadi tidak manusiawi dan mengutamakan pembalasan. Pidana hanya diorientasikan pada pemenuhan unsur tindak pidana didalam perundang- undangan.
Hukum pidana juga tidak benar apabila hanya memperhatikan si pelaku saja (daderstrafrecht), sebab dengan demikian penerapan hukum pidana akan berkesan memanjakan penjahat dan kurang memperhatikan kepentingan yang luas, yaitu kepentingan masyarakat,kepentingan negara, dan kepentingan korban tindak pidana.
Dengan demikian maka yang paling tepat secara integral hukum pidana harus melindungi pelbagai kepentingan diatas, sehingga hukum pidana yg dianut harus daad-daderstafrecht. Gambaran tentang penerapan teori integratif dalam pemidanaan nampak dari pemahaman Tim Perancang KUHP Nasional dalam merumuskan pidana mati dalam konsep KUHP baru.
Dari pengalaman empiris sampai saat ini terbukti bahwa, Indonesia termasuk kelompok retensionis terhadap pidana mati, de jure dan de facto. Masalahnya adalah bagaimana caranya menjaga keseimbangan perasaan antara kaum retensionis dan kaum abolisionis di kalangan masyarakat yang di Indonesia yang masing -masing jumlahnya sangat banyak.
Sehubungan dengan kenyataan diatas, konsep rancangan KUHP mengeluarkan pidana mati dari stelsel pidana pokok dan mencantumkannya sebagai pidana pokok yang bersifat khusus atau sebagai pidana eksepsional. Penempatan pidana mati terlepas dari paket pidana pokok dipandang penting, karena merupakan kompromi dari pandangan retensionis dan abolisionis.
Dalam konsep Rancangan KUHP 2008 terdapat beberapa macam tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, antara lain:
1. Undang-undang Nomor 5 (PA/PS) Tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan.
2. Undang-undang Nomor 21 (Prp) Tahun 1959 Tentang Memperberat Ancaman
Hukuman Tindak Pidana Ekonomi.
3. Undang-undang Nomor 31 tahun 1964 Tentang Ketentuan Pokok.
4. Undang-undang Nomor 11 (PNPS) Tahun 1963 Tentang Pemberantasan
Kegiatan Subversi.
5. Undang-undang Nomor 12 (drt) Tahun 1951 tentang Perubakan Ordonantie Tijdelijhe Bijzondere Starftbepalingen dan Undang-undang RI terdahulu, yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1948.
6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubakan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
7. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika menentukan pidana pokok mati, seumur hidup, penjara, kurungan dan
denda.
8. Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
9. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia.
10. Tindak pidana terorisme diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Sedangkan tindak pidana pembunuhan berencana ditiadakan. Menurut penjelasan konsep Rancangan KUHP 2008 hal ini member! kebebasan kepada hakim dalam rangka mempertimbangkan ada tidaknya unsur berencana yang acapkali sulit dibuktikan.Dengan demikian hakim akan lebih mengutamakan untuk mempertimbangkan motif, cara, sarana atau upaya membunuh dan akibat serta dampaknya suatu pembunuhan bagi masyarakat.
E. BEBERAPA PANDANGAN TENTANG PIDANA MATI
Pidana mati sebagai salah satu jenis pidana yang paling kontroversial selalu mendapat sorotan dari berbagai kalangan di seluruh dunia. Bermacam-macam pendapat dan alasan dikemukakan untuk mendukung dan menentang pidana mati.
Di Indonesia yang berlaku KUHP buatan pemerintah Belanda sejak 1
Januari 1918, dalam pasal 10 masih mencantumkan pidana mati dalam pidana pokoknya, padahal di Belanda sendiri pidana mati sudah dihapuskan Pada tahun
1870. Hal tersebut tak diikuti di Indonesia karena keadaan khusus di Indonesia menuntut supaya penjahat yang terbesar dapat dilawan dengan pidana mati.
De Bussy membela adanya pidana mati di Indonesia dengan mengatakan bahwa di Indonesia terdapat suatu keadaan yang khusus. Bahaya terhadap gangguan yang sangat terhadap ketertiban hukum di Indonesia adalah lebih besar.
Jonkers membela pidana mati dengan alasan bahwa walaupun ada keberatan terhadap pidana mati yang seringkali dajukan adalah bahwa pidana mati itu tak dapat ditarik kembali, apabila sudah dilaksanakan dan diakui bahwa ada kekhilafan atau kekeliruan dalam putusan hakim, lalu tak dapat diadakan
pemulihan hak yang sesungguhnya. Terhadap orang mati ketidakadilan yang dialaminya tidak dapat diperbaiki lagi.
Hazewinkel-Suringa mengemukakan bahwa pidana mati adalah suatu alat pembersih radikal yang pada setiap masa revolusioner kita dapat menggunakannya.
Bichon van Tselmonde menyatakan : saya masih selaiu berkeyakinan, bahwa ancaman dan pelaksanaan pidana mati harus ada dalam tiap-tiap negara dan masyarakat yang teratur, baik ditinjau dari sudut keputusan hakum maupun dari sudut tidak dapat ditiadakannya, kedua-duanya jure divino humano. Pedang pidana seperti juga pedang harus ada pada negara. Hak dan kewajiban in! tak dapat diserahkan begitu saja. Tap! haruslah dipertahankannya dan juga digunakannya.
Lombrosso dan Garofalo juga termasuk yang mendukung pidana mati. Mereka berpendapat bahwa pidana mati adalah alat mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tak mung kini dapat diperbaiki lagi.
Para sarjana hukum di Indonesia juga ada yang mendukung pidana mati. Diantaranya adalah Bismar Siregar yang menghendaki tetap dipertahankannya pidana mati dengan maksud untuk menjaga sewaktu-waktu kita membutuhkan masih tersedia. Sebab beliau menilai kalau seseorang penjahat sudah terlalu keji tanpa perikemanusiaan , pidana apa lagi yang mesti dijatuhkan kalau bukan pidana mati. Sedangkan Oemar Seno Adji menyatakan bahwa selama negara kita masih meneguhkan diri, masih bergulat dengan kehidupan sendiri yang terancam oleh bahaya, selama tata tertib masyarakat dikacaukan dan dibahayakan oleh anasir-anasir yang tidak mengenal perikemanusiaan, ia masih memerlukan pidana mati.
Hartawi AM memandang ancaman dan pelaksanaan pidana matf sebagai suatu social defence. Pidana mati adalah suatu pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum dari bencana dan bahaya ataupun ancaman kejahatan besar yang mungkin terjadi yang akan menimpa masyarakat, yang telah atau akan mengakibatkan kesengsaraan dan mengganggui ketertiban serta keamanan rakyat umum, dalam pergaulan manusia bermasyarakat dan bergama.
Adanya bahaya-bahaya dan kejahatan-kejahatan besar yang menimpa dan mengancam kehidupan masyarakat, memberikan hak pada masyarakat sebagai kesatuan untuk menghindarkan dan pembelaan terhadap kejahatan dengan memakai senjata, salah satunya adalah pidana mati.
Bila pidana mati mendapat dukungan dari berbagai kalangan yang ingin tetap mempertahankannya, maka ia juga mendapat penentang yang semakin hari semakin banyak jumlahnya. Yang dianggap sebagai pelopor dari gerakan anti pidana mati ini adalah Beccaria dengan karangannya yang terkenal Dei Delitti E Delle Pene (1764). Yang menyebabkan Beccaria menentang pidana mati ialah proses yang dijalankan dengan cara yang amat buruk terhadap Jean Callas yang dituduh telah membunuh anaknya sendiri. Hakim menjatuhkan pidana mati. tapi Voltaire kemudian dapat membuktikan bahwa Jean Calias tidak bersalah sehingga namanya direhabilitasi. Walaupun demikian ia telah mati tanpa salah, akibat pidana mati yang diperkenankan pada waktu itu.
Beccaria menunjukkan adanya pertentangan antara pidana mati dan pandangan negara sesuai dengan doktrin Contra Social. Karena hidup adalah
sesuatu yang tak dapat dihilangkan secara legal dan membunuh adalah tercela, karena pembunuhan yang manapun juga yang mengijinkan untuk pidana mati adalah immoral dan makanya tidak sah.
Van Bemmelen menyatakan bahwa pidana mati menurunkan wibawa pemerintah, pemerintah mengakui ketidakmampuan dan kelemahnnya.
Menurut Roling, pidana mati justru mempunyai daya destruktif, yaitu bila negara tidak menghormati nyawa manusia dan menganggap tepat untuk dengan tenang melenyapkan nyawa seseorang, maka ada kemungkinan besar dan akan berkurang pulalah hormat orang pada nyawa manusia. Disamping itu adalagi suatu bahaya, yaitu bahwa perbuatan membunuh oleh negara itu akan memancing suatu penyusulan pula terhadapnya.
Ernest Bowen Rowlands berpendapat bahwa pidana mat! tidak dapat diperbaiki kalau seorang hakim telah keliru dan pidana mat! telah dilaksanakan, tak pernah kehidupan dikembalikan pada yang dipidana mati.
Von Hentig menyatakan bahwa pengaruh yang kriminogen pidana mati itu terutama sekali disebabkan karena telah memberikan suatu contoh yang jelek dengan pidana mati tersebut. Sebenarnya negara yang berkewajiban mempertahankan nyawa manusia dalam keadaan apapun. la menambahkan bahwa dengan menahan seseorang dalam penjara, kita mengadakan suatu eksperimen yang sangat berharga. Hal ini tak mungkin ditemukan pada pidana mati.
Is Cassutto menyatakan bahwa pada pidana mati ditemui kesukaran-kesukaran yang serius, pertama-tama terbentur pada kemungkinan terjadinya kekhilafan yang tak mungkin dapat diperbaiki.
Damstee menyatakan bahwa "saya tak merasa perlu pidana mati, saya tak percaya kegunaannya, malah saya percaya keburukannya. Dan kalau pemerintah melalui pembunuhan. maka ia merendahkan kewibawaannya terhadap rakyat pada siapa dianjurkan janganlah engkau membunuh. Dengan membunuh ia membangunkan naluri yang jahat. Suatu masyarakat yang mengagung-agungkan pidana mati dikecam bahwa disini masih ada orang-orang biadab dan anggota-anggota masyarakat itu tak akan meninggalkan sifat-sifat biadabnya."
Leo Polak beranggapan bahwa pidana mati setelah dilaksanakan tidak membawa nestapa yang harus diderita oleh penjahat karena ia sudah tidak ada lagi.
Jadi pidana mati sama bukan pidana, bahkan bukan juga suatu pidana yang ringan.
Leo Polak berpendapat pidana mati itu tidak adil, pelaksanaan pidana mati itu dianggap sebagai suatu dosa kekeliruan besar dalam penetapan pembalasan yang adil.
Diantara sarjana hukum Indonesia yang menentang adanya pidana mati adalah Roeslan Menurut beliau bagi kita penjara seumur hidup dan lain-lainnya pidana yang merupakan perampasan dan pembatasan atas kemerdekaan dan harta kekayaan seseorang sajalah yang dipandang sebagai pidana. Selanjutnya beliau menyatakan bahwa karena orang semakin tahu betapa buruknya pidana mati itu, sehingga bertrurut-turut banyak negara beradab yang menghapuskannya.
Ing Dei Tjo lam menyatakan bahwa tujuan pidana adalah memperbaiki individu yang melakukan tindak pidana disamping melindungi masyarakat. Jadi
nyata bahwa dengan adanya pidana mati bertentangan dengan salah satu tujuan pidana yang disebutkan tadi.
J.E Sahetapy juga dianggap sebagai penentang pidana mati, walaupun terbatas hanya mengenai pembunuhan berencana. Dalam desertasinya yang berjudul Suatu Studi Khusus mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, beliau memberikan hipotesa :
1. Acaman pidana mati dalam pasal 340 KUHP dewasa ini dalam praktek merupakan suatu ketentuan abolisi de facto
2. Acaman pidana mati dalam pasal 340 KUHP tidak akan mengenai sasarannya selama ada berapa faktor seperti lembaga banding, lembaga kasasi, lembaga grasi, kebebasan hakim dan "shame culture"
3. Dari segi kriminologi sangat diragukan manfaat pidana mati.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Dunia internasional juga menunjukkan perhatian terhadap ancaman pidana mat! ini. Pada tahun 1987 di Syracuse, Italia telah dilakukan suatu Konferensi Internasional tentang pidana mati. Dalam konferensi tersebut antara lain dibahas tentang pelbagai pengaturan pidana mati diperlbagai negara di dunia. Gambaran tentang hal ini adalah sebagai berikut : (a) Negara yang sama sekali menghapuskan pidana mati 32; (b). Negara yang mengancamkan pidana mati hanya untuk kejahatan-kejahatan tertentu dalam keadaan dibawah hukum militer atau karena kondisi negara) 18; (c) Negara yang termasuk kelompokabolisionis defacto 16; (d) Negara yang termasuk kelompok retensionis termasuk Indonesia 110.
2. Masalah pidana mati didunia, termasuk di Indonesia, adalah merupakan realitas, yang keberadaannya tidak terlepas dari nilai-nilai sosial budaya masing-masing bangsa dan dari sejarah bangsa tersebut.
B. SARAN
1. Pada saat sekarang ini negara kita masih perlu ancaman pidana yang keras untuk mengawal dalam proses pembangunan negara, maka pidana mati masih perlu dipertahankan eksisitensinya dalam susunan sanksi pidana di Indonesia, Agar pelaksanaan pidana mati haruslah hati-hati dan secara selektif diperuntukkan terhadap
kejahatan-kejahatan yang berat, dan kejahatan yang membahayakan keamanan negara.
2. Sanksi pidana mati sebagai sanksi pidana yang keras dan kejam, sehingga dalam pelaksanaannya harus memperhatikan prinsip subsidieritas, digunakan sebagai sarana ultimum remidium (obat terakhir), penerapannya bersifat eksepsional, dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian, mengingat sifat pidana mati sebagai sanksi pidana non evaluatif.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Andi dan A. Sumangelipu, Pidana Mati dl Indonesia di Masa Lain, Kini dan di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materil Indonesia di Masa Datang, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Semarang, 1990.
Prakoso, Djoko dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.
Sahetapy, J.E., Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap
Pembunuhan Berencana, CV Rajawali, Jakarta, 1982.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1977. Utrecht, E.,
Hukum Pidana I, Penerbitan Universitas, Bandung, 1968.
Comments
Post a Comment
silahkan comentar