Skip to main content

Penerapan Pendekatan ”Rule of Reason” untuk kasus atau perkara persaingan yang termasuk kategori “Per Se Illegal”

                                           HKUM4103 FILSAFAT HUKUM DAN ETIKA PROFESI

Penerapan Pendekatan ”Rule of Reason” untuk kasus atau perkara persaingan yang termasuk kategori “Per Se Illegal”



BAB I

PENDAHULUAN

Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan. Pendekatan rule of reason dan per se illegal telah lama diterapkan dalam bidang hukum persaingan usaha untuk menilai apakah suatu kegiatan maupun perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha telah atau berpotensi untuk melanggar UU Antimonopoli. Kedua pendekatan in pertama kali tercantum dalam beberapa suplemen terhadap Sherman Act 1980, yang merupakan UU Antimonopoli AS, dan pertama kali diimplementasikan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat pada 1899 (untuk per se illegal) dan pada 1911 (untuk rule of reason) dalam putusan atas beberapa kasus antitrust. Sebagai pioneer dalam bidang persaingan usaha, maka pendekatan-pendekatan yang diimplementasikan di AS juga turut diimplementasikan oleh negara-negara lainnya sebagai praktik kebiasaan (customary practice)dalam bidang persaingan usaha. 

Demikian halnya dengan Indonesia, dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pendekatan rule of reason dapat diidentifikasikan melalui penggunaan redaksi “yang dapat mengakibatkan” dan atau “patut diduga”. Kata-kata tersebut menyiratkan perlunya penelitian secara lebih mendalam, apakah suatu tindakan dapat menimbulkan praktek monopoli yang bersifat menghambat persaingan. Sedangkan penerapan pendekatan per se illegal biasanya dipergunakan dalam pasal-pasal yang menyatakan istilah “dilarang”, tanpa anak kalimat “…yang dapat mengakibatkan…”. Berdasarkan hal-hal tersebut maka KPPU juga menerapkan kedua pendekatan ini dalam pengambilan keputusan atas perkara-perkara persaingan usaha. Beberapa ahli yang concern terhadap hukum persaingan usaha Indonesia yang mengatakan bahwa dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat terdapat prinsip rule of reason dan per se rule. 



BAB II

PEMBAHASAN

Pengertian Rule of Reason dan Per Se Rule 

Diatas sudah dikemukakan mengenai beberapa definisi dari Asri Sitompul dan Susanti Adi Nugroho mengenai prinsip rule of reason dan per se rule. Asril mendefinisikan rule of reason adalah suatu pendekatan dengan menggunakan pertimbangan akan akibat suatu perbuatan, apakah mengakibatkan praktek monopoli dan akan menimbulkan kerugian dipihak lain. Sedangkan Susanti rule of reason adalah pertimbangan yang digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dituduhkan melanggar hukum persaingan dimana penggugat dapat menunjukkan akibat-akibat yang menghambat persaingan, atau kerugian nyata terhadap persaingan. Dari dua definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa rule of reason merupakan (a) suatu pertimbangan hakim untuk menentukan apakah suatu perbuatan tertentu melanggar hukum persaingan atau tidak, (b) prinsip yang akan digunakan untuk menentukan perbuatan tertentu melanggar atau tidak didasarkan pada akibat yang muncul dari perbuatan yaitu menghambat persaingan atau melahirkan kerugian pada pelaku usaha lain. 

 

Per se rule didefinisikan oleh Asril Sitompul suatu pendekatan dimana perbuatan dinyatakan sebagai pelanggaran dan dapat dihukum tanpa perlu melakukan pertimbangan apakah perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian atau menghambat persaingan. Sedangkan Susanti mendefinisikan per se rule sebagai larangan yang jelas dan tegas tanpa mensyaratkan adanya pembuktian mengenai akibat-akibatnya atau kemungkinan akibat adanya persaingan. Dari kedua definisi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan per se rule adalah perbuatan tersebut secara jelas dan tegas akan dianggap pelanggaran oleh hakim tanpa melihat apakah terdapat akibat yang merugikan atau menghambat persaingan.

Syamsul Maarif (2002) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan rule of reason adalah bahwa suatu larangan yang baru berlaku apabila suatu kegiatan usaha dapat menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Larangan bersifat Per se adalah larangan yang memang secara alamiah dilarang tanpa perlu dikaitkan dengan dampak kegiatan tersebut pada persaingan karena pada dasarnya memang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.

Pentingnya pendekatan-pendekatan rule of reason dan per se illegal dalam persaingan usaha, antara lain:

  • Rule of reason

Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan. 

Pendekatan ini memungkinkan pengadilan melakukan interpretasi terhadap UU seperti mempertimbangkan faktor-faktor kompetitif dan menetapkan layak atau tidaknya suatu hambatan perdagangan. Hal ini disebabkan karena perjanjian-perjanjian maupun kegiatan usaha yang termasuk dalam UU Antimonopoli tidak semuanya dapat menimbulkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat atau merugikan masyarakat. Sebaliknya, perjanjian-perjanjian maupun kegiatan-kegiatan tersebut dapat juga menimbulkan dinamika persainga usaha yang sehat. Oleh karenanya, pendekatan ini digunakan sebagai penyaring untuk menentukan apakah mereka menimbulkan praktek monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat atau tidak.

  • Per se illegal

Pendekatan per se illegal menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. Kegiatan yang dianggap sebagai per se illegal biasanya meliputi penetapan harga secara kolusif atas produk tertentu, serta pengaturan harga penjualan kembali. Istilah perse illegal berarti “illegal dengan sendirinya”. Terminologi ini berkenaan dengan keadaan yang tidak memerlukan bukti yang tidak relevan atau pendukung atas suatu kejadian. Perse berarti suatu tindakan yang dengan sendirinya adalah ilegal. Jadi, suatu tindakan adalah ilegal yang tidak memerlukan bukti lain dari keadaan di sekitarnya atau pendukung lain. Tindakannya adalah illegal karena undang-undang atau hukum.

Karena itu perse illegal merupakan sebuah larangan yang sangat keras. Apa pun alasannya suatu perbuatan yang memenuhi syarat sebuah larangan maka perbutan tersebut dianggap melanggar hukum, kendati pun perbuatan itu bermaksud atau berdampak baik. Sebaliknya perbuatan tersebut dibebaskan dari pelanggaran hukum bila tidak memenuhi syarat sebuah larangan, kendati pun perbuatan tersebut bermaksud dan berdampak tidak baik. Sebagai contoh “orang berbaju merah dilarang masuk rumah”, apapun alasannya orang berbaju merah dilarang masuk rumah. Sebaliknya apa pun alasannya orang yang tidak berbaju merah boleh masuk rumah.

Contoh yang lebih kongkrit seorang pengusaha dilarang membuat perjanjian atau kesepakatan dengan pesaingnya untuk secara bersama-sama menetapkan harga jual. Apapun alasanya apa pun dampaknya maka perbuatan secara bersama-sama menetapkan harga jual tersebut dilarang.

Di Amerika Serikat pada masa lalu dan juga di kebanyakan negara yang telah memiliki undang-undang antimonopoli, penetapan harga secara bersama (price fixing), pengaturan harga ritel (retail price maintenance), pembagian wilayah pasar (geographic market division), boikot oleh kelompok (group boycotts), dan perjanjian tertutup (tying arrangements) digolongkan sebagai perse illegal tanpa memerlukan alasan kenapa tindakan tersebut dilakukan.

Jenis Perilaku yang digolongkan sebagai per se illegal adalah perilaku-perilaku dalam dunia usaha yang hampir selalu bersifat anti persaingan, dan hampir selalu tidak pernah membawa manfaat sosial. Pendekatan per se illegal ditinjau dari sudut proses administratif adalah mudah. Hal ini disebabkan karena metode ini membolehkan pengadilan untuk menolak melakukan penyelidikan secara rinci, yang biasanya memerlukan waktu lama dan biaya yang mahal guna mencari fakta di pasar yang bersangkutan.

BAB III

PENUTUP

Dalam perdebatan sering orang mempertentangkan antara pendekatan perse illegal dan pendekatan rule of reason. Menurut saya tidak perlu dipertentangkan keduanya justru komplemen saling melengkapi. Perse illegal sangat penting khususnya untuk mencegah perbuatan-perbuatan yang berbahaya yang dampaknya sangat luas, karena itu secara keras dilarang tanpa pembuktian mengenai dampak. Sementara pendekatan rule of reason juga sangat penting agar kita tidak semena-mena menghukum pelaku usaha secara serampangan. Tindakan keras dan serampangan akan sangat distortif, mengganggu, dan bahkan mematikan kreatifitas dan inovatisi yang diperlukan bagi kemajuan ekonomi. Sebaliknya kita juga harus menghindarkan diri dari upaya untuk mempertukarkan antara pasal perse dan pasal rule of reason, jika pasalnya perse harus diperlakukan secara perse, dan jika pasalnya rule of reason harus diperlakukan secara rule of reason. Menkaburkan antara keduanya hanya menambah ketidak pastian hukum di negeri ini.

Kita juga sejauh mungkin menghindarkan diri dari penafsiran yang serampangan terutama pasal rule of reason yang bernuansa pasal karet. Keberadaan Undang-Undang No 5 Tahun 1999 dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan demokrasi ekonomi dengan mendorong kegiatan usaha lebih maju melalui praktek berusaha yang sehat. Jangan justru sebaliknya menjadi sumber distorsi baru dalam kegiatan ekonomi.

Analisis ini merupakan penyempurnaan dari materi yang pernah disampaikan dalam suatu seminar mengenai hukum persaingan di Fakultas Hukum salah satu Universitas di Indonesia beberapa waktu lalu. Materi yang dimintakan kepada saya waktu itu adalah tentang konsep dan contoh pasal perse illegal dalam hukum persaingan usaha. Bahasan yang saya sampaikan dalam kesempatan ini adalah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman saya, berbagai referensi dan pengalaman di negara lain, pelatihan dan kuliah-kuliah yang pernah saya ikuti dan tentu saja dasar-dasar filosofi yang melandasi kelahiran Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat. Dalam sejarahnya kedua istilah ini lahir dari praktek hukum dalam pelaksanaan undang-undang anti monopoli atau antitrust khususnya Sherman Act . di Amerika Serikat.

DAFTAR PUSTAKA

 

Asril Sitompul, SH., Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Tinjauan terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999), Bandung, PT. Citra Aditya, 1999.

 

Danny Zacharias, SH., MA., “Penerapan Rule of Reason dan Per Se  dalam Peradilan Amerika Serikat dan Masalah Keberadaannya dalam UU No. 5 Tahun 1999”, Fakultas Hukum UKSW, 2002.

 

Elyta Ras Ginting, SH., Hukum Anti Monopoli Indonesia – Analisis dan Perbandingan UU No. 5 Tahun 1999, Bandung, PT. Citra Aditya, 2001.


https://yakubadikrisanto.wordpress.com. ttps://serambihukum.wordpress.com

www.hukumonline.com


Comments

Popular posts from this blog

Hak-hak yang diperoleh oleh Seorang tersangka/terdakwa

  Hak-hak apa saja yang diperoleh oleh tersangka/terdakwa? Implementasi Hak Asasi Manusia secara tersirat sebenarnya sudah diakui dalam KUHAP. Menurut ketentuan Pasal 117 ayat 1, “keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun.” Artinya dengan adanya Pasal tersebut, pemeriksaan oleh penyidik untuk kepentingan penyidikan harus sesuai dan menghormati HAM. hak seorang tersangka dan keluarganya yang digeledah atau rumahnya digeledah yaitu: a. Berhak untuk menanyakan tanda pengenal penyidik yang akan melakukan penggeledahan. b. Berhak untuk menanyakan surat perintah penggeledahan. c. Berhak untuk mendapatkan penjelasan mengenai alasan penggeledahan. d. Berhak untuk menandatangani berita acara penggeledahan. e. Berhak untuk mendapatkan salinan berita acara f. Berhak untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi saat digeledah. g. Berhak untuk mencabut berita acara yang salinannya diberikan setelah lewat dua hari

Koneksi Antar Materi Modul 2.3 Calon Guru Penggerak

  Kesimpulan, Keterkaitan Materi dan Refleksi Pemahaman. Selama mempelajari modul 2 saya mendapatkan pengalaman belajar baru yang sangat luar biasa. Pada modul 2.1 Memenuhi Kebutuhan Belajar Murid Melalui Pembelajaran Berdiferensiasi. saya lebih memahami pentingnya pembelajaran berdifferensiasi sebagai tuntunan yang masuk akal bagi peserta didik dengan keunikan potensinya. Selanjutnya di modul 2.2 saya belajar bagaimana membangun kecerdasan sosial emosional. Di modul 2.3 saya belajar bagaimana teknik coaching guna membangun komunikasi yang baik dengan orang lain. Hal yang paling berkesan bagi saya adalah saat kami, sesama rekan GCP, melakukan praktik coaching sebanyak 3 sesi (sebagai coach, coachee dan observer), yang merupakan tugas demonstrasi kontekstual modul 2.3. Meskipun speed saya cenderung lambat menunaikan tugas-tugas dalam membangun pemahaman saya terhadap materi, namun saya berkomitmen untuk menuntaskannya dan menyusun rencana implementasi melalui praktik bagi yang akan

CONTOH PERJANJIAN FORCE MAJEURE

   CONTOH PERJANJIAN  FORCE MAJEURE PERJANJIAN SEWA-MENYEWA No. 122/UD/sejahtera-tb/TB/iii/16   Yang bertanda tangan di bawah ini : 1.       Nama   ................................  Pekerjaan BURUH   Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama untuk diri sendiri berkedudukan di panca tunggal jaya selanjutnya disebut yang menyewakan; 2.       Nama ...........................   pekerjaan mahasiswa   Alamat Tulang Bawang dalam hal ini bertindak untuk diri sendiri, selanjutnya disebut penyewa; Dengan ini menerangkan bahwa pihak yang menyewakan adalah pemilik sah sebuah rumah yang terletak di jalan anggrek No. 17 Kota Unit 2 Tulang Bawang bermaksud menyewakan rumahnya kepada penyewa dan penyewa bersedia menyewa rumah tersebut dari pihak yang menyewakan berdasarkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut : Pasal 1 (1)    Sewa rumah ditetapkan sebesar Rp. 50,000,000,- ( lima puluh juta ) untuk jangka waktu sewa 1 tahun terhitung sejak tanggal penandatanganan surat perjanji