Skip to main content

PROBLEM YANG TERJADI DALAM LINGKUP RAHASIA BANK

 PROBLEM YANG TERJADI DALAM LINGKUP RAHASIA BANK 


 Teori-teori Rahasia Bank

Ketentuan mengenai rahasia bank merupakan suatu hal yang sangat penting bagi nasabah penyimpan dan simpanannya maupun bagi kepentingan dari bank itu sendiri, sebab apabila nasabah penyimpan ini tidak mempercayai bank di mana ia menyimpan simpanannya tentu ia tidak akan mau menjadi nasabahnya. 

Berkaitan dengan apa yang telah dikemukakan di atas, sesungguhnya bagaimana sifat dari ketentuan rahasia bank tersebut? Menurut Drs. Muhammad Djumhana, S.H. dalam bukunya Hukum Perbankan di Indonesia, terdapat dua teori mengenai rahasia bank, yaitu sebagai berikut:

1.      Teori Rahasia Bank yang Bersifat Mutlak

Menurut teori ini bank mempunyai kewajiban untuk menyimpan rahasia nasabah yang diketahui bank karena kegiatan usahanya dalam keadaan apa pun, baik dalam keadaan biasa atau pun keadaan luar biasa. Teori ini sangat menonjolkan kepentingan individu, sehingga kepentingan negara dan masyarakat sering terabaikan.

2.      Teori Rahasia Bank yang Bersifat Nisbi (Relatif)

Menurut teori ini bank diperbolehkan membuka rahasia atau memberi keterangan mengenai nasabahnya, jika untuk kepentingan yang mendesak, misalnya untuk kepentingan negara atau kepentingan hukum. Teori ini banyak dianut oleh bank-bank di banyak negara di dunia, termasuk Indonesia.

Dalam sistem hukum perbankan Indonesia, pengertian mengenai rahasia bank selalu ditentukan dalam undang-undang yang mengatur lembaga perbankan. Namun demikian, sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat rumusan tentang rahasia bank itu pun mengalami perubahan, baik pengertian maupun ruang lingkupnya.

Mengenai pengertian dan ruang lingkup rahasia bank, sebelum berlakunya UU No. 7 Tahun 1998 jo. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dapat ditemukan dalam UU No. 23 PrP 1960 tentang Rahasia Bank dan dalam UU No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan.

Adapun rumusan mengenai rahasia bank menurut kedua undang-undang tersebut adalah sebagaimana diuraikan berikut ini.

1.      Menurut UU No. 23 PrP 1960 tentang Rahasia Bank

Dalam ketentuan Pasal 2 UU No. 23 PrP 1960 tentang Rahasia Bank, dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan rahasia bank adalah:

Bank tidak boleh memberikan keterangan-keterangan tentang keadaan keuangan langganannya yang tercatat padanya dan hal-hal lain yang harus dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan.

Adapun penjelasan Pasal 2 tersebut tersebut mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan langganan bank adalah orang-orang yang mempercayakan uangnya pada bank, menerima cek, bunga dari bank, dan lain sebagainya, intinya semua orang dari pelaksanaan tugas sehari-hari dari bank.

2.      UU No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan

Ketentuan Pasal 36 UU No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan, merumuskan bahwa yang dimaksud dengan rahasia bank adalah:

Bank tidak boleh memberikan keterangan-keterangan tentang keadaan keuangan nasabahnya yang tercatat padanya dan hal lain-lain yang harus dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang ini.

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan rahasia bank adalah segala keterangan mengenai keadaan keuangan dari langganan atau nasabah dan hal-hal lain yang harus dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman.

Ketentuan Pasal 36 UU No. 14 Tahun 1967 tersebut tidak secara jelas merumuskan mengenai rahasia bank. Oleh karena itu, Bank Indonesia membuat suatu penafsiran resmi mengenai hal tersebut yang dimuat dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 2/337 UPPB/PbP perihal penafsiran tentang Pengertian Rahasia Bank, tanggal 11 September 1969. Menurut Surat Edaran tersebut hal-hal yang dirahasiakan mencakup hal-hal sebagai berikut:

a.       Keadaan keuangan yang tercatat padanya, ialah keadaan mengenai keuangan yang terdapat pada bank yang meliputi segala simpanan yang tercantum dalam semua pos pasiva, dan segala pos aktiva yang merupakan pemberian kredit dalam berbagai macam bentuk kepada yang bersangkutan.

b.      Hal-hal lain yang harus dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan, ialah segala keterangan orang atau badan yang diketahui oleh bank karena kegiatan dan usahanya, yaitu:

1)      Pemberian pelayanan dan jasa dalam lalu lintas uang, baik dalam maupun luar negeri.

2)      Pengdiskontoan dan jual beli surat berharga.

3)      Pemberian kredit.

3.      UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 16 UU No. 7 Tahun 1992, yang dimaksud dengan rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan.

Berkaitan dengan itu, ketentuan Pasal 40 ayat (1) menentukan bahwa bank dilarang memberikan keterangan yang dicatat pada bank tentang keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabahnya, yang wajib dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44.

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dikemukakan bahwa makna yang terkandung dalam pengertian rahasia bank adalah larangan-larangan bagi perbankan untuk memberi keterangan atau informasi kepada siapa pun juga mengenai keadaan keuangan nasabah dan hal-hal lain yang patut dirahasiakan dari nasabahnya, untuk kepentingan nasabah maupun kepentingan dari bank itu sendiri.

Selanjutnya ketentuan Pasal 1 angka 16 tersebut diubah menjadi Pasal 1 angka 28 UU No. 10 Tahun 1998, yang mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Adapun Pasal 40 ayat (1) di atas diubah menjadi Pasal 40 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998, yang mengemukakan bahwa bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A.

Berdasarkan ketentuan di atas, menunjukkan bahwa pengertian dan ruang lingkup mengenai rahasia bank yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 1992 dan UU No. 10 Tahun 1998 memiliki perbedaan. Dalam UU No 7 Tahun 1992 ketentuan rahasia bank tersebut lebih luas, karena berlaku bagi setiap nasabah dengan tidak membedakan antara nasabah penyimpan dan nasabah peminjam. Adapun ketentuan rahasia bank yang ditentukan dalam UU No. 10 Tahun 1998 lebih sempit, karena hanya berlaku bagi nasabah penyimpan dan simpanannya saja.


Pengecualian Rahasia Bank


Pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank dalam UU No. 7 tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998 adalah mengacu kepada ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 yang menentukan bahwa bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 44A.

Berdasarkan ketentuan Pasal 40 ayat (1) tersebut dapatlah diuraikan secara sistematis pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank sebagai berikut:

1.      Untuk Kepentingan Perpajakan

Mengenai pembukaan rahasia bank untuk kepentingan perpajakan ini diatur dalam ketentuan Pasal 41 ayat (1) yang menentukan bahwa:

Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.

2.      Untuk Kepentingan Penyelesaian Piutang Bank yang Telah Diserahkan kepada BUPLN/PUPN

Ketentuan Pasal 41A ayat (1) adalah landasan hukum untuk pembukaan rahasia bank untuk kepentingan piutang bank yang telah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau Panitia Urusan Piutang (PUPN). Secara lengkap ketentuan Pasal 41A ayat (1) menentukan bahwa:

Untuk penyelesaian piutang bank yang telah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai simpanan nasabah debitur. 

3.      Untuk Kepentingan Peradilan dalam Perkara Pidana

Pembukaan atau penerobosan terhadap ketentuan rahasia bank dapat juga dilakukan dengan alasan untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana sebagaimana ditentukan oleh Pasal 42 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998. Ketentuan Pasal 42 ayat (1) menentukan  bahwa:

Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank.

4.      Dalam Perkara Perdata antara Bank dengan Nasabah

Menurut ketentuan Pasal 43 UU No. 10 Tahun 1998 bahwa:

Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, direksi bank yang bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut.

Ketentuan ini merupakan landasan hukum dan alasan dapat dibukanya atau diterobosnya ketentuan rahasia bank untuk kepentingan penyelesaian perkara perdata antara bank dan nasabahnya di pengadilan. Untuk itu direksi dari bank yang bersangkutan dapat memberikan keterangan mengenai keadaan keuangan dari nasabah tersebut.

5.      Dalam Tukar-menukar Informasi Antar Bank

Menurut ketentuan Pasal 44 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998, bahwa dalam rangka tukar-menukar informasi antar bank juga merupakan alasan untuk pembukaan atau penerobosan ketentuan rahasia bank.

Pasal 44 ayat (1) menyatakan bahwa:

Dalam rangka tukar-menukar informasi antar bank, direksi bank dapat memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain.


Ketentuan di atas tentu dapat dilakukan jika ada suatu kepentingan dari bank yang bersangkutan yang berkaitan dengan nasabah tersebut, dan tidak menimbulkan kerugian bagi nasabah. Oleh sebab itu, pelaksanaan dari ketentuan ini lebih lanjut diatur oleh Bank Indonesia sebagaimana ditentukan oleh Pasal 44 ayat (22) UU No. 10 Tahun 1998.

6.      Atas Permintaan, Persetujuan atau Kuasa dari Nasabah Penyimpan atau Ahli Warisnya

Alasan-alasan pembukaan atau penerobosan ketentuan rahasia bank yang telah dikemukakan di atas, pada dasarnya mengandung suatu kepentingan dari negara, kepentingan penyelesaian perkara, dan kepentingan dari bank.

Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan juga mengatur mengenai pembukaan atau penerobosan ketentuan rahasia bank atas dasar kepentingan dari nasabah penyimpan sebagaimana diatur dalam Pasal 44A.

Pasal 44A ayat (1) menentukan bahwa:

Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis, bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan pada bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh nasabah penyimpan tersebut.


Sedangkan dalam ketentuan Pasal 44A ayat (2) diatur bahwa:


Dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari penyimpan yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan tersebut.


Dari ketentuan Pasal 44A ayat (1) dan (2) di atas, menunjukkan bahwa bank berkewajiban untuk memberikan keterangan mengenai simpanan dari nasabah penyimpan kepada pihak yang diberi kuasa atau ditunjuk oleh nasabah penyimpan dan/atau memberi keterangan simpanan dari nasabah penyimpan kepada ahli warisnya apabila ia meninggal dunia.

Selain pengecualian-pengecualian yang telah diuraikan diatas, KPK juga diberikan kewenangan dalam membuka rahasia bank. Kewenangan tersebut didasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. KMA/694/R.45/XII/2004 perihal pertimbangan hukum atas pelaksanaan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan ketentuan rahasia bank yang ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 2 Desember 2004. Surat Keputusan Mahkamah Agung RI tersebut diterbitkan sebagai jawaban atas Surat Gubernur Bank Indonesia No. 6/2/GBI/DHk/Rahasia, tanggal 8 Agustus 2004 yang meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung untuk menjawab persoalan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam membuka rahasia bank.

Dalam Surat Keputusan memuat penegasan hukum, bahwa ketentuan Pasal 12 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan ketentuan khusus (lex specialis) yang memberikan kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Dengan demikian ketentuan prosedur izin membuka rahasia bank sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 1998, tidak berlaku bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).


Rahasia Bank di Indonesia


Ketentuan rahasia bank dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan diatur dalam Pasal 40-50 dan dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 mengalami perubahan dan penambahan. Adapun prinsip atau teori yang mendasari ketentuan rahasia bank di Indonesia, yaitu prinsip atau teori nisbi. Dengan demikian, pemberian data dan informasi yang menyangkut kerahasiaan bank kepada pihak lain dimungkinkan, berbeda dengan sistem di Swiss yang hanya memungkinkan pembukaan rahasia bank apabila ada putusan pengadilan. Menyangkut mengenai pihak yang harus menyimpan rahasia karena profesi dan pekerjaannya hampir sama ketentuannya dengan di Swiss, yaitu semua pihak yang berhubungan dengan kegiatan bank (pihak-pihak terafiliasi).

Dengan sifatnya yang demikian maka dalam memahami ketentuan-ketentuan rahasia bank tidak perlu dipahami sebagai strict law. Jadi, ketentuan tersebut janganlah dipahami apa adanya sebagaimana tertulis dalam Pasal tersebut yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Jika terlalu kaku memahami ketentuan yang ada, ketentuan tersebut akan membelenggu karena disadari bahwa pengertian rahasia bank yang tercantum pasa Pasal 40 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (sebelum diubah) mempunyai sifat yang sangat luas ruang lingkupnya dan sifatnya terlalu umum. Karenanya, cukup membingungkan serta terlalu tertutup.

Namun, ketentuan rahasia bank yang ada telah mengatur mengenai hal-hal pengecualian tertentu yang memungkinkan untuk dapat diketahuinya suatu rahasia bank dari seseorang. Adapun mengenai kemungkinan pembukaan kerahasiaan bank dapat dilakukan apabila adanya suatu kepentingan umum berupa kepentingan:

1.    Perpajakan.

2.    Penyelesaian piutang yang ditangani oleh Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara (BUPLN/PUPN).

3.   Peradilan, baik untuk perkara pidana maupun perdata.

4.  Kepentingan kelancaran dan keamanan kegiatan usaha bank, termasuk di dalamnya permintaan pembukaan rahasia bank berdasarkan kuasa dari nasabah penyimpan itu sendiri atau permintaan ahli waris yang sah.

Dalam rangka pembukaan rahasia bank karena kepentingan tertentu dan hal tersebut telah mendapatkan izin dari Pimpinan Bank Indonesia maka bank yang bersangkutan di mana data tersebut berada wajib memberikan keterangan yang diperlukan tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 42A Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.

Mekanisme dan prosedur permintaan untuk pembukaan rahasia bank, adalah sebagai berikut:

1.      Permohonan ditujukan kepada Pimpinan Bank Indonesia u.p. Urusan Hukum Bank Indonesia.

2.  Atas permintaan ini Pimpinan Bank Indonesia membahasnya dan kemudian memberikan keputusannya apakah memberikan atau menolaknya. Penolakan oleh Bank Indonesia selambat-lambatnya empat belas hari setelah surat permintaan diterima.

3.  Apabila permintaan tersebut tidak memenuhi persyaratan, dilakukan penolakan. Begitu pula sebaliknya, apabila telah memenuhi persyaratan, diizinkan pembukaan rahasia bank tersebut.


Pelanggaran Rahasia Bank

Secara eksplisit ada dua jenis tindak pidana yang ditentukan oleh Pasal 47 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang berkaitan dengan perbankan. Pertama, tindak pidana yang dilakukan oleh mereka yang tanpa membawa perintah atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia dengan sengaja memaksa bank atau pihak yang terafilisi untuk memberikan keterangan yang harus dirahasiakan oleh bank. Hal ini di tentukan oleh Pasal 47 ayat (1). Kedua, tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Dewan Komisaris, Direksi, Pegawai Bank, atau pihak terafiliasi lainnya, yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan oleh bank. Tindak pidana tersebut ditentukan oleh Pasal 47 ayat (2). 

Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) tersebut berbunyi sebagai berikut:

1)      Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari pemimpin Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau pihak terfiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal  40, diancam dengan pidana penjara sekuran-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar).

2)      Anggota dewan komisaris,direksi,pegawai bank atau pihak teafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).


Sehubungan dengan ketentuan Pasal 47 ayat (1) di atas, yang perlu dipermasalahkan apakah pihak yang memaksa dapat di tuntut telah melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 47 ayat (1), sekalipun pihak yang memaksa tidak sampai berhasil membuat pihak bank atau pihak terafiliasi memberikan keterangan yang diminta secara paksa. Ataukah pihak yang memaksa dapat dikenai pidana karena melakukan percobaan tindak pidana berdasarkan Pasal 47 ayat (1). Menurut Remy Sjehdeini, karena tindak pidana yang ditentukan dalam Pasal 47 ayat (1) itu merupakan tindak pidana formal, maka pihak yang memaksa tersebut dapat saja di tuntut dan dikenai pidana sekalipun tidak sampai berhasil membuat pihak terafiliasi memberikan keterangan yang diminta itu.

Mengenai mereka yang termasuk angka 1 di atas tidak di atur oleh Undang-undang nomor 10 Tahun 1998. Artinya, Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tidakmenentukan sebagai hal yang di larang, tetapijuga tidak menentukan sebagai hal yang di perbolehkan. Penggunaan keterangan yang di peroleh dalam rangka pengecualian itu hanya terbatas kepada tujuan diperolehnya keterangan itu.

Kemudian kepada mereka yang termasuk angka 2 di atas, dalam hal nasabah berpendapat telah di rugikan sebagai akibat penggunaan keterangan tentang nasabah itu oleh mereka yang memperoleh keterangan itu dari pihak bank yang membocorkannya secara bertentangan dengan rahasia bank, maka nasabah tersebut dapat mengajukan ganti kerugian kepada mereka berdasarkan “pebuatan melawan hukum” sebagaimana diatur oleh Pasal 1365 KUH Perdata.





Comments

Popular posts from this blog

Hak-hak yang diperoleh oleh Seorang tersangka/terdakwa

  Hak-hak apa saja yang diperoleh oleh tersangka/terdakwa? Implementasi Hak Asasi Manusia secara tersirat sebenarnya sudah diakui dalam KUHAP. Menurut ketentuan Pasal 117 ayat 1, “keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun.” Artinya dengan adanya Pasal tersebut, pemeriksaan oleh penyidik untuk kepentingan penyidikan harus sesuai dan menghormati HAM. hak seorang tersangka dan keluarganya yang digeledah atau rumahnya digeledah yaitu: a. Berhak untuk menanyakan tanda pengenal penyidik yang akan melakukan penggeledahan. b. Berhak untuk menanyakan surat perintah penggeledahan. c. Berhak untuk mendapatkan penjelasan mengenai alasan penggeledahan. d. Berhak untuk menandatangani berita acara penggeledahan. e. Berhak untuk mendapatkan salinan berita acara f. Berhak untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi saat digeledah. g. Berhak untuk mencabut berita acara yang salinannya diberikan setelah lewat dua hari

CONTOH PERJANJIAN FORCE MAJEURE

   CONTOH PERJANJIAN  FORCE MAJEURE PERJANJIAN SEWA-MENYEWA No. 122/UD/sejahtera-tb/TB/iii/16   Yang bertanda tangan di bawah ini : 1.       Nama   ................................  Pekerjaan BURUH   Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama untuk diri sendiri berkedudukan di panca tunggal jaya selanjutnya disebut yang menyewakan; 2.       Nama ...........................   pekerjaan mahasiswa   Alamat Tulang Bawang dalam hal ini bertindak untuk diri sendiri, selanjutnya disebut penyewa; Dengan ini menerangkan bahwa pihak yang menyewakan adalah pemilik sah sebuah rumah yang terletak di jalan anggrek No. 17 Kota Unit 2 Tulang Bawang bermaksud menyewakan rumahnya kepada penyewa dan penyewa bersedia menyewa rumah tersebut dari pihak yang menyewakan berdasarkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut : Pasal 1 (1)    Sewa rumah ditetapkan sebesar Rp. 50,000,000,- ( lima puluh juta ) untuk jangka waktu sewa 1 tahun terhitung sejak tanggal penandatanganan surat perjanji

Koneksi Antar Materi Modul 2.3 Calon Guru Penggerak

  Kesimpulan, Keterkaitan Materi dan Refleksi Pemahaman. Selama mempelajari modul 2 saya mendapatkan pengalaman belajar baru yang sangat luar biasa. Pada modul 2.1 Memenuhi Kebutuhan Belajar Murid Melalui Pembelajaran Berdiferensiasi. saya lebih memahami pentingnya pembelajaran berdifferensiasi sebagai tuntunan yang masuk akal bagi peserta didik dengan keunikan potensinya. Selanjutnya di modul 2.2 saya belajar bagaimana membangun kecerdasan sosial emosional. Di modul 2.3 saya belajar bagaimana teknik coaching guna membangun komunikasi yang baik dengan orang lain. Hal yang paling berkesan bagi saya adalah saat kami, sesama rekan GCP, melakukan praktik coaching sebanyak 3 sesi (sebagai coach, coachee dan observer), yang merupakan tugas demonstrasi kontekstual modul 2.3. Meskipun speed saya cenderung lambat menunaikan tugas-tugas dalam membangun pemahaman saya terhadap materi, namun saya berkomitmen untuk menuntaskannya dan menyusun rencana implementasi melalui praktik bagi yang akan