Kesimpulan, Keterkaitan Materi dan Refleksi Pemahaman.
Selama mempelajari modul 2
saya mendapatkan pengalaman belajar baru yang sangat luar biasa. Pada modul 2.1 Memenuhi Kebutuhan
Belajar Murid Melalui Pembelajaran Berdiferensiasi. saya lebih memahami pentingnya pembelajaran
berdifferensiasi sebagai tuntunan yang masuk akal bagi peserta didik dengan
keunikan potensinya. Selanjutnya di modul 2.2 saya belajar bagaimana membangun
kecerdasan sosial emosional. Di modul 2.3 saya belajar bagaimana teknik
coaching guna membangun komunikasi yang baik dengan orang lain. Hal yang paling
berkesan bagi saya adalah saat kami, sesama
rekan GCP, melakukan praktik coaching sebanyak 3 sesi (sebagai coach, coachee
dan observer), yang merupakan tugas demonstrasi kontekstual modul 2.3. Meskipun
speed saya cenderung lambat menunaikan tugas-tugas dalam membangun pemahaman
saya terhadap materi, namun saya berkomitmen untuk menuntaskannya dan menyusun
rencana implementasi melalui praktik bagi yang akan saya terapkan.
Pada modul 2.1 Memenuhi Kebutuhan Belajar Murid Melalui
Pembelajaran Berdiferensiasi Ketika sekilas membaca materi, saya merasa garis
besar materi pada modul 2 sederhananya sudah pernah saya lakukan dalam ranah
profesi saya sebagai pendidik. Namun apa-apa yang saya pahami masih dangkal dan
terdapat miskonsepsi, sehingga perlu dibenahi. Ketika mendengar istilah
differensiasi, awalnya saya mengira setiap individu siswa harus mendapatkan
perlakuan/tuntunan. Pertanyaan yang muncul dibenak saya: ”Bagaimanakah
caranya?, sedangkan dalam satu kelas terdapat puluhan siswa. Belum kelas-kelas
yang lain”. ternyata pembelajaran berdiferensiasi tidak seperti apa yang saya
pikirkan. Kebutuhan-kebutuhan peserta didik dipetakan berdasarkan tiga aspek,
yaitu: kesiapan belajar, minat belajar, dan profil belajar murid. Caranya
adalah dengan mendiagnosanya melalui wawancara, observasi langsung, atau survey
menggunakan angket sederhana. Tantangannya adalah apa bagaimana jika seorang
pendidik mengajar di banyak kelas.
Pada modul 2.2 Pembelajaran sosial emosional, merupakan
materi yang sangat kontekstual dan relevan dalam keseharian, baik sebagai CGP
maupun pendidik di sekolah. Dalam menjalankan perannya, seorang CGP/pendidik
hendaknya mampu mencapai kesejahteraan psikologis (well
being), sehingga mampu bersikap yang positif terhadap diri sendiri dan
orang lain, dapat membuat keputusan dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat
memenuhi kebutuhan dirinya dengan menciptakan dan mengelola lingkungan dengan
baik, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup mereka lebih bermakna, serta
berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya. Hal mendasar dalam membangun
dan memelihara kecerdasan sosial emosional adalah dengan mengakarkan kesadaran
penuh dalam diri dalam segala situasi. Yaitu kesadaran diri untuk memberikan
perhatian secara sengaja pada kondisi saat sekarang dilandasi rasa ingin tahu
dan kebaikan. Caranya adalah dengan membangun kompetensi sosial dan emosional,
yaitu: kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi,
dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. Kompetensi ini, penting
ditumbuhkan dan dibangun dalam diri peserta didik juga.
Lalu pada modul 2.3 Coaching Untuk Supervisi Akademik, Coaching
merupakan kegiatan percakapan yang menstimulasi pemikiran coachee dan
memberdayakan potensi coachee. Para ahli mendefinisikan coaching sebagai :
-
sebuah proses kolaborasi yang berfokus
pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi
peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan
pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999) kunci pembuka potensi seseorang
untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching lebih kepada membantu seseorang untuk
belajar daripada mengajarinya (Whitmore, 2003).
Dalam
konteks pendidikan, coaching menjadi proses menuntun belajar murid untuk
mencapai kekuatan kodratnya. Dari semboyan Tut Wuri Handayani mindset Ki Hajar
Dewantara maka Coaching akan membangun hubungan yang baik dan menyenangkan
antara guru dan murid, yaitu :
-
Murid adalah Mitra Belajar
Guru dapat memberikan apresiasi kepada murid sebagai mitra belajar. Sehingga guru dan murid akan memiliki kesepahaman yang sama tentang belajar. Pada coaching, guru akan menjadi pendengar yang baik untuk mengenali kekuatan/potensi murid secara mendalam. Sehingga murid akan menemukan kekuatan yang ada pada dirinya melalui tuntunan dari guru.
-
Kasih dan Persaudaraan
Murid
sebagai manusia yang memiliki kebebasan yang juga butuh cinta kasih. Guru
mengikuti, mendampingi dan menjadi pendorong kekuatan kodrat murid secara
holistik berdasarkan cinta kasih dan persaudaraan tanpa pamrih, bukan keinginan
menguasai dan memaksa.
-
Emansipatif
Proses
coaching membuka ruang emansipatif guru dan murid. Memberi murid peluang
menemukan kekuatan kodratnya, potensi dirinya dan kekuatan yang dimilikinya.
-
Ruang Perjumpaan Pribadi
-
Membangun rasa percaya dan kebebasan
guru dan murid dengan pertanyaan-pertanyaan reflektif menuntun untuk menguatkan
kekuatan kodrat murid.
Namun
juga ada beberapa kasus pada murid yang tidak dapat diselesaikan dengan
coaching. Yang pada tahap berikutnya dapat diselesaikan dengan mentoring
ataupun konseling. Sehingga ada perbedaan pada proses coaching, mentoring dan
konseling. Pada coaching, maka guru lebih mengarahkan murid sebagai coachee
untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dan memaksimalkan potensinya. Guru
menganggap muridnya sebagai kemitraan yang setara. Sehingga guru sebagai coach
hanya memberikan arahan. Dan coachee yang membuat keputusannya sendiri. Mentoring,
di sini guru akan berperan sebagai mentor yang memiliki pengalaman agar dapat
memberikan tips dalam menyelesaikan masalah murid yang disebut mentee. Pada
mentoring mengharuskan guru dapat membagikan pengalamannya untuk membantu
murid/mentee mengembangkan diri. Di tahap konseling, guru yang ahli sebagai
konselor membantu konseli memecahkan masalah, akibat kejadian di masa lalunya,
dan konselor harus bisa langsung memberikan solusi. Penerapan Coaching dapat
dilakukan dengan model TIRTA. TIRTA adalah singkatan dari Tujuan, Identifikasi,
Rencana Aksi dan Tanggung jawab. TIRTA juga berarti air dari segi bahasa. Air
yang mengalir dari hulu ke hilir. Jika murid-murid kita ibaratkan air itu maka
biarkanlah mereka merdeka, mengalir lepas hingga ke hilir potensinya. Sebagai
guru, kita memiliki tugas untuk menjaga air itu tetap mengalir dan tanpa
sumbatan. Karena guru adalah penuntun yang membantu murid sebagai coachee
menyadari bahwa mereka mampu menyingkirkan sumbatan-sumbatan yang bisa jadi
penghambat potensi dalam dirinya. Selain dengan murid, tentu saja coaching
dapat dilakukan dengan sesama rekan sejawat dalam menemukan solusi atau jawaban
saat menemui kendala yang dihadapi. Sehingga setelah coaching akan mendapatkan
kelegaan karena telah menemukan jawaban untuk masalah yang dihadapi. Dan
potensi diri dapat dikembangkan sesuai dengan komitmen dan dapat dipertanggung
jawabkan.
Comments
Post a Comment
silahkan comentar