Kekerasan Dalam Rumah Tangga ditinjau dari Sosiologi Hukum
Penegakan
hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai
dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum.
Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku
manusia mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang
telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat
semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum
legalistic.
Proses
penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut,
karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan
pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang
akan selalu menonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in the
books”Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto , dipengaruhi
oleh lima faktor.
1. faktor hukum atau peraturan
perundang-udangan.
2. faktor aparat penegak hukumnya, yakni
pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang
berkaitan dengan masalah mentalitas.
3. faktor sarana atau fasilitas yang mendukung
proses penegakan hukum.
4.
faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial dimana hkum tersebut berlaku atau
diterapkan, berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi
dalam perilaku masyarakat.
5. faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta
dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Perumusan norma
atau kaidah di dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 ini, dituangkan di dalam Pasal-pasal 5 s/d 9.
Di dalam Pasal 5 dinyatakan, setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam
rumah tangga terhadap orang lingkup rumah tangganya dengan cara:
a. kekerasan fisik;
b. Kekerasan
psikis;
c. kekerasan
seksual; atau
d. penelantaran
rumah tangga.
Di dalam Pasal 6
dinyatakan
bahwa, kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah
perubahan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
Selanjutnya Pasal 7
memuat
pernyataan bahwa, kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b
adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan /atau penderitaan
psikis berat pada seseorang.
Sementara itu, dalam Pasal 8
dinyatakan,
kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:
(a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
terhadap orang menetapkan dalam lingkup rumah tangga tersebut;
(b) pemaksaan
hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan
orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertantu.
Kemudian di
dalam Pasal 9
dinyatakan,
(1) Setiap orang
dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut
hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut;
(2) Penelantaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang
untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar sehingga korban berada di bawah
kendali orang tersebut.
Sosiologi Hukum
menggambarkan bahwa mengenalkan hukum ke dalam arena-arena sosial dalam
masyarakat, sama dengan mengantarkan sebuah Undang-undang ke dalam ruang kosong
dan hampa udara. Ketika sebuah Undang-undang diantarkan ke suatu arena sosial,
maka di dalam arena sosial tersebut sudah penuh dengan berbagai pengaturan
sendiri yang dibuat oleh masyarakat, yang disebut sebagai Self Regulation
(Moore, 1983). Ini membuat pembicaraan tentang masuknya suatu instrumen hukum
yang bertujuan memajukan hak asasi perempuan dan keadilan gender, harus
dilakukan secara hati-hati.
Arena sosial itu
sendiri memiliki hakekat adanya kapasitas untuk menciptakan aturan-aturan
sendiri beserta sanksinya. Dalam hal ini aturan aturan tersebut tidak hanya
bersumber dari adat, agama dan kebiasaan kebiasaan lain, tetapi juga
mendapatkan pengaruh dari perkembangan dunia global saat ini. Berbagai Self
Regulation dalam arena-arena sosial tersebut sangatlah rumit, karena terjadinya
saling pengaruh dan adopsi di antara berbagai aturan tersebut satu sama lain.
Aturan-aturan
yang ada dalam masyarakat yang “memberi celah (loop holes)” kepada terjadinya
banyak kasus tentang kekerasan terhadap perempuan, secara khusus di dalam
kehidupan rumah tangga, dikarenakan himpitan hukum negara dengan kentalnya
budaya patriarkhi. Budaya hukum yang patriarkhis ini juga bersemai dalam
institusi penegakan hukum sebagai bagian dari masyarakat, Hukum sangat erat
kaitannya dengan budaya di mana hukum itu berada.
Hukum itu adalah
budaya patriarkhis, maka tidak mengherankan apabila hukum yang dimunculkan
adalah hukum yang tidak memberi keadilan terhadap perempuan. Dalam hal ini,
budaya menempatkan perempuan dan laki-laki dalam hubungan kekuasaan yang timpang
dan hukum melegitimasinya. Sebagian Sarjana Hukum percaya, bahwa bila hukum
sudah dibuat, maka berbagai persoalan dalam masyarakat berkenaan dengan apa
yang diatur dalam hukum tersebut, sudah dapat diatasi atau bahkan dianggap
selesai. Mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai objektivitas dan
netralitas dalam hukum, dengan mempercayai bahwa hukum yang objektif dan netral
akan memberikan keadilan bagi setiap warga masyarakat. Dalam hal ini mereka
mengartikan hukum sebatas Undang-undang yang dibuat oleh negara.
Pendekatan
Sosiologi Hukum menunjukkan bahwa hukum negara bukanlah satu-satunya acuan
berperilaku dalam masyarakat. Dalam kenyataannya, “hukum-hukum” lain yang
menjadi acuan berperilaku tersebut justru diikuti secara efektif oleh
masyarakat, dikarenakan hukum itulah yang mereka kenal, hidup dalam wilayah sendiri,
diwariskan secara turun-temurun dan mudah diikuti dalam praktik sehari-hari.
Sukar untuk mereka bayangkan bahwa ada hukum lain yang lebih dapat diandalkan
daripada hukum yang mereka miliki sendiri, terlebih bila hukum itu datang dari
domain yang “asing”, yang mengklaim diri sebagai otoritas tertinggi yaitu
negara.
Hukum tidak dapat dibentuk melainkan tumbuh dan berkembang bersama dengan
kehidupan masyarakat. Undang-undang dibentuk hanya untuk mengatur hubungan
masyarakat atas kehendak masyarakat itu melalui negara.
Bahwa dengan ditetapkannya berbagai perbuatan sebagai tindak pidana
(dikategorikan sebagai delik aduan ) di dalam UU PKDRT, secara konseptual,
delik aduan merupakan delik atau tindak pidana penuntutannya di pengadilan
digantungkan pada adanya inisiatif dari pihak sikorban.
Dalam hal suatu tindak pidana dikualifikasikan sebagai delik atau tindak pidana
aduan, maka pihak korban atau keluarganyalah yang harus bersikap proaktif untuk
mempertimbangkan apakah peristiwa yang baru dialaminya akan diadukan kepada
pihak berwajib untuk dimintakan penyelesaian menurut ketentuan hukum pidana.
Pengkualifikasian suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana sebagai
delik aduan, menunjukkan pendirian pembentuk undang-undang Indonesia bahwa
kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan ini lebih bersifat pribadi dari pada
publik.
Konsekuensi logis dari perumusan perbuatan kekerasan dalam rumah tangga sebagai
delik aduan di dalam UU PKDRT ini ialah, pihak aparat penegak hukum hanya dapat
bersifat pasif, dan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi atau
campur tangan dalam suatu urusan warga masyarakat yang secara yuridis
dinyatakan sebagai masalah domestik, dan penegakan ketentuan di dalam undang
undang ini lebih banyak bergantung pada kemandirian dari setiap orang yang
menjadi sasaran perlindungan hukum undang-undang ini.
Permasalahan yang muncul dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah bahwa
keengganan seorang istri yang menjadi korban kekerasan melaporkan kepada pihak
yang berwajib, dalam hal ini polisi, karena beberapa akibat yang muncul dari
laporan tersebut adalah perceraian, kehilangan nafkah hidup karena suami masuk
penjara, masa depan anak-anak terancam dan lain-lain.
Dengan kondisi seperti tersebut maka dilihat dari segi sosiologi hukum, peluang
keberhasilan penegakan hukum UU PKDRT ini sanagat sulit untuk mencapai
keberhasilan maksimal.
Oleh karena itu,
kembali kepada ide dasar penggunaan hukum pidana sebagai sarana terakhir dalam
upaya penanggulangan kejahatan (ultimum remedium), maka keberadaan UU PKDRT
harus lebih ditekankan pada upaya optimasi fungsi hukum administrasi negara
dalam masyarakat. Upaya mengoptimalkan fungsi hukum administrasi negara, dalam
kaitan ini yang dimaksudkan adalah upaya untuk mendidik moralitas seluruh lapisan
warga masyarakat ke arah yang lebih positif berupa terwujudnya masyarakat yang
bermoral anti kekerasan dalam rumah tangga.
Negara sepatutnya kembali melihat pada kenyataan dalam masyarakat Indonesia
yang sangat patriarkhis untuk selanjutnya dapat menilai dengan lebih bijak
mengenai langkah lain yang patut diambil untuk dapat membuat keberlakuan UU
PKDRT menjadi efektif di dalam prakteknya dan pada akhirnya dapat berujung pada
tujuan pengundangan UU PKDRT, yaitu menghapuskan atau setidaknya meminimalisir
kasus-kasus KDRT terhadap perempuan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
Comments
Post a Comment
silahkan comentar