Skip to main content

BEGINILAH CONTOH TUGAS KARIA ILMIYAH SEDERHANA YANG WAJIB KALIAN KETAHUI

TUGAS KARIA ILMIYAH SEDERHANA 

Abstrak

Masyarakat heterogen memerlukan kontrol sosial secara formal. Salah satu Kontrol sosial yang berbentuk formal adalah dengan dibentuknya Undang-Undang yang mengatur sanksi pidana terhadap tindak pidana korupsi yang marak terjadi di Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang–Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur mengenai ganti kerugian terhadap kerugian yang diderita oleh Negara. Bentuk ganti kerugian berupa pembayaran uang pengganti merupakan hal yang dikenal dalam hukum perdata, disisi lain hal ini merupakan hal baru di dalam hukum pidana. Hal terebut menimbulkan pertanyaan apakah hal tersebut menggambarkan bahwa sifat restitutif dalam hukum perdata sudah masuk ke dalam hukum pidana yang bersifat represif. Tulisan ini akan mengkaitkan dengan teori dari Emile Durkheim yang pada intinya menggambarkan bahwa bersifat represif mempunyai kecenderungan untuk berubah menjadi hukum yang restitutif. Dewasa perhatian dalam penjatuhan pidana terhadap tindak pidana korupsi adalah bagaimana cara mengembalikan keuangan Negara. Unsur ganti-rugi yang merupakan sifat restitutif dalam hukum perdata masuk ke dalam hukum pidana.

Kata Kunci      : Korupsi, Uang Pengganti, Restitutif


PENDAHULUAN

Semakin modern dan kompleks suatu masyarat maka permasalah hukum yang dihadapinya pun semakin kompleks. Begitu pula dengan penyelesaian hukumnya pun akan semakin kompleks pula. Penulis mengutip paradoks dari Hobel, the more civilezed man becomes, the greater is man’s need for law, and the more law he creates.

Dalam masyarakat Indonesia dewasa ini struktur masyarakatnya heterogen. Masyarakat heterogen lebih kompleks jika dibandingkan dengan masyarkat yang masih homogen, maka diperlukan kontrol sosial yang bentuknya formal. Formal controls arise when informal controls alone are insufficient to maintain conformity to certain norms.Sehingga jelas dalam masyarakat seperti Indonesia memerlukan dibentuknya suatu Undang-Undang yang dibentuk oleh badan legislatif yang sah dan diakui otoritasnya oleh negara dan masyarakat, dalam hal ini yang dimaksud adalah DPR-RI yang bersama sama dengan Presiden sebagai eksekutif sebagaimana diatur di dalam UUD 1945.

Penulis hendak menyoroti peraturan yang mengatur sanksi terhadap tindakan yang berkaitan dengan perekonomian dan keuangan Negara, yang dimaksud disini adalah korupsi yang marak terjadi di Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang–Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikenal pidana tambahan Pasal 18 Ayat (1) Huruf b. Dalam Pasal tersebut tertulis bahwa pembayaran uang pengganti yang diberikan jumlahnya sebanyak–banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Penulis melihat bahwa bentuk ganti kerugian seperti pembayaran uang pengganti diatas merupakan hal biasa terjadi di dalam hukum perdata, disisi lain hal ini merupakan hal baru di dalam hukum pidana.

Sebagai contoh putusan Mahkamah Agung yang menghukum terpidana korupsi Angelina Sondakh yang merupakan Anggota DPR RI. Angelina Sondakh yang divonis 12 Tahun penjara dan uang pengganti sejumlah Rp 39.980.000.000. Penulis melihat contoh kasus tersebut sebagai salah satu contoh diterapkannya pidana tambahan pembayaran uang pengganti sebagai upaya pengembalian kerugian Negara akibat tindak pidana korupsi.


PEMBAHASAN

Dampak kemisikinan yang disebabkan oleh tindak pidana korupsi ini berarti luas. Artinya bukan saja masyarakat yang langsung menjadi miskin, tetapi dapat juga merugikan negara yang berakibat negara dan masyarakat menjadi miskin dan menderita. Kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi sudah masuk dalam katergori membahayakan. Melihat pada Pasal 1 Angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan, kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. 

Dengan dibentuknya pengadilan khusus korupsi dan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diharapkan dapat membantu menyelesaikan kasus–kasus korupsi di Indonesia. Melalui penyelesaikan kasus-kasus korupsi tersebut maka dapat mengembalikan keuangan negara yang hilang. Dalam rangka memperoleh pemulihan (recovery) kerugian keuangan Negara akibat korupsi dikenal istilah asset forfeiture (aset yang hilang) yang merupakan pidana tambahan selain pidana pokok berupa denda atau kurungan. Salah satu cara untuk mengembalikan kerugian Negara yang yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang–Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah dengan memberikan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Oleh karena itu pidana tambahan pembayaran uang pengganti harus dapat ditarik dari terpidana korupsi agar tercapainya kesejahteraan masyarakat. 

Tujuan adanya pidana uang pengganti adalah untuk memidana dengan seberat mungkin para koruptor agar mereka jera dan untuk menakuti orang lain agar tidak melakukan korupsi. Tujuan lainnya adalah untuk mengembalikan uang negara yang melayang akibat suatu perbuatan korupsi. 

Penulis mengutip pendapat dari William J. Chamblis, make a distinction between crimes that are instrumental act and those that are expressive. Pembedaan ini dimaksudkan dalam hal menjatuhkan sanksi (criminal sanction). Menurut William J. Chamblis, Instrumental act are illegal activities directed toward some material end.  Berdasarkan pendapat William J. Chamblis maka korupsi merupakan bentuk kejahatan instrumental act. Dalam tindakan yang tergolong instrumental act berat ringannya sanksi yang diberikan mempengaruhi dalam menekan angka pelanggaran yang terjadi.

Berkaitan dengan tujuan dari pidana tambahan uang pengganti yang sudah disebutkan sebelumnya dan dikaitkan dengan mafaat yang diterima oleh pelaku/koruptor, Penulis melihat jelas kalau tindak pidana korupsi memberikan keuntungan keuangan/finansial kepada para koruptor. Sebaliknya dengan adanya tindak pidana korupsi tersebut mengakibatkan Negara memperoleh kerugian keuangan atau perekonomian. Penulis melihat bahwa pidana tambahan uang pengganti ini bertujuan menjatuhkan sanksi yang berat dan setimpal guna memberikan efek jera dan mencegah orang untuk melakukan korupsi.

Penulis melihat sudah terjadi pergeseran teori konvensional yang dikenal dalam pidana. Teori yang dimaksud disini adalah Teori Absolut/Retributive (Retributism). Dasar pijakan dari teori ini ialah pembalasan. ika merujuk dengan teori ini makan tujuan dari pemidanaan adalah menghukum seberat mungkin si pelaku dengan pidana penjara/kurungan yang seberat mungkin dalam rangka melakukan pembalasan dendam.

Melihat uraian di atas, Penulis menarik kesimpulan bahwa dewasa ini yang menjadi perhatian dalam penjatuhan pidana terhadap tindak pidana korupsi adalah bukan hanya menghukum si koruptor dengan pidana penjara/kurungan tetapi juga bagaimana cara mengembalikan keuangan Negara yang sudah dirugikan sebagai akibat dari terhadinya korupsi. Penulis melihat bahwa pergeseran di dalam ketentuan hukum pidana di bidang korupsi ini sejalan dengan teori yang dikembangkan oleh Emile Durkheim, bahwa hukum yang bersifat represif mempunyai kecenderungan untuk berubah menjadi hukum yang restitutif.

Sebegaimana diketahui bahwa hukum pidana ini pada dasarnya bersifat represif, karena sifatnya yang menghukum pelaku. Sementara sebenarnya sifat restitutif itu sendiri merupakan sifat dari hukum perdata. Dimana yang menjadi perhatian di dalam ketentuan perdata adalah mengenai ganti kerugian guna memilihkan kondisi pihak yang dirugikan agar tidak dirugikan.

Berdasarkan pengamatan Penulis masuknya sifat restitutif ke dalam hukum pidana sebenarnya bukan pertama kali di atur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang–Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikenal pidana tambahan Pasal 18 Ayat (1) Huruf b. sebelumnya pidana tambahan pembayaran uang pengganti sudah ada diatur dalam Undang–Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 34 Huruf c.

KESIMPULAN

Penulis melihat bahwa dengan adanya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang–Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 18 Ayat (1) Huruf b dan sebelumnya sudah ada Undang–Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai pidana tambahan pembayaran uang pengganti diatur dalam Pasal 34 Huruf c yang mengatur mengenai tindak pidana tambahan pembayaran uang penggati yang pada pokoknya bertujuan untuk mengembalikan keuangan Negara yang sudah timbul akibat terjadinya tindak pidana korupsi. Penulis melihat disini masuk unsur ganti-rugi yang merupakan sifat restitutif dalam hukum perdata ke dalam hukum pidana yang sifatnya represif.

Penulis melihat bahwa dalam perkembangannya maka hukum pidana pun memperhatikan aspek pemulihan keadaan (restutitif). Hal ini sejalan dengan teori Emile Durkheim, bahwa bahwa hukum yang bersifat represif mempunyai kecenderungan untuk berubah menjadi hukum yang restitutif.



DAFTAR PUSTAKA

Buku

Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Cetakan Ke-7. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Juwana, Hikmahanto. Teori Hukum. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tanpa tahun.

Kholis, Efi Laila. Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi. Depok: Solusi Publishing, 2010.

Soekanto, Soerjono. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.

Vago, Steven. Law And Society. Ninth Edition. New Jersey: Pearson, 2009.

Wacks, Raymond. Understanding Jurisprudence An Introduction To Legal Theory. New York: Oxford University Press, 2005.

Artikel Internet / Majalah Hukum

Kamus Besar Bahasa Indonesia Versi Online. “Represif”. http://kbbi.web.id/ represif. diakses 30 Maret 2015.

Surachmin. “Siapa Yang Harus Menghitung Kerugian Negara”. Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXVII. Edisi Nomor 317 April 2012.

Wikipedia. “Emile Durkheim”. http://id.wikipedia.org/wiki/%C3%89mile_ Durkheim. diakses 30 Maret 2015.

Undang-Undang

Republik Indonesia. Undang–Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1971 Nomor 19).

_________. Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai perubahan atas Undang–Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150).


Comments

Popular posts from this blog

Hak-hak yang diperoleh oleh Seorang tersangka/terdakwa

  Hak-hak apa saja yang diperoleh oleh tersangka/terdakwa? Implementasi Hak Asasi Manusia secara tersirat sebenarnya sudah diakui dalam KUHAP. Menurut ketentuan Pasal 117 ayat 1, “keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun.” Artinya dengan adanya Pasal tersebut, pemeriksaan oleh penyidik untuk kepentingan penyidikan harus sesuai dan menghormati HAM. hak seorang tersangka dan keluarganya yang digeledah atau rumahnya digeledah yaitu: a. Berhak untuk menanyakan tanda pengenal penyidik yang akan melakukan penggeledahan. b. Berhak untuk menanyakan surat perintah penggeledahan. c. Berhak untuk mendapatkan penjelasan mengenai alasan penggeledahan. d. Berhak untuk menandatangani berita acara penggeledahan. e. Berhak untuk mendapatkan salinan berita acara f. Berhak untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi saat digeledah. g. Berhak untuk mencabut berita acara yang salinannya diberikan setelah lewat dua hari

CONTOH PERJANJIAN FORCE MAJEURE

   CONTOH PERJANJIAN  FORCE MAJEURE PERJANJIAN SEWA-MENYEWA No. 122/UD/sejahtera-tb/TB/iii/16   Yang bertanda tangan di bawah ini : 1.       Nama   ................................  Pekerjaan BURUH   Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama untuk diri sendiri berkedudukan di panca tunggal jaya selanjutnya disebut yang menyewakan; 2.       Nama ...........................   pekerjaan mahasiswa   Alamat Tulang Bawang dalam hal ini bertindak untuk diri sendiri, selanjutnya disebut penyewa; Dengan ini menerangkan bahwa pihak yang menyewakan adalah pemilik sah sebuah rumah yang terletak di jalan anggrek No. 17 Kota Unit 2 Tulang Bawang bermaksud menyewakan rumahnya kepada penyewa dan penyewa bersedia menyewa rumah tersebut dari pihak yang menyewakan berdasarkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut : Pasal 1 (1)    Sewa rumah ditetapkan sebesar Rp. 50,000,000,- ( lima puluh juta ) untuk jangka waktu sewa 1 tahun terhitung sejak tanggal penandatanganan surat perjanji

Koneksi Antar Materi Modul 2.3 Calon Guru Penggerak

  Kesimpulan, Keterkaitan Materi dan Refleksi Pemahaman. Selama mempelajari modul 2 saya mendapatkan pengalaman belajar baru yang sangat luar biasa. Pada modul 2.1 Memenuhi Kebutuhan Belajar Murid Melalui Pembelajaran Berdiferensiasi. saya lebih memahami pentingnya pembelajaran berdifferensiasi sebagai tuntunan yang masuk akal bagi peserta didik dengan keunikan potensinya. Selanjutnya di modul 2.2 saya belajar bagaimana membangun kecerdasan sosial emosional. Di modul 2.3 saya belajar bagaimana teknik coaching guna membangun komunikasi yang baik dengan orang lain. Hal yang paling berkesan bagi saya adalah saat kami, sesama rekan GCP, melakukan praktik coaching sebanyak 3 sesi (sebagai coach, coachee dan observer), yang merupakan tugas demonstrasi kontekstual modul 2.3. Meskipun speed saya cenderung lambat menunaikan tugas-tugas dalam membangun pemahaman saya terhadap materi, namun saya berkomitmen untuk menuntaskannya dan menyusun rencana implementasi melalui praktik bagi yang akan