MAKALAH
HUKUM WARIS DI
INDONESIA
Disusun
untuk memenuhi persyaratan tugas mata kuliah
HUKUM PERDATA
Disusun oleh
:
...............................................
FISIP
UNIVERSITAS.................
........................
2015
PENDAHULUAN
Di negara
kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara nasioal belum terbentuk, dan
hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh
masyarakat Indonesia, yakni hulum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum
Adat dan hukum Perdata Eropa (BW). Hal ini adalah akibat
warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda
dahulu.
Kita sebagai
negara yang telah lama merdeka dan berdaulat sudah tentu mendambakan adanya
hukum waris sendiri yang berlaku secara nasional (seperti halnya hukum
perkawinan dengan UU Nomor 2 Tahun1974), yang sesuai dengan bangsa Indonesia
yang berfalsafah Pancasila dan sessuai pula dengan aspirasi yang benar-benar
hidup di masyarakat.
Hukum waris merupakan salah satu bagian
dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum
kekeluargaan. Hukum waris erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan
manusia, sebab setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan
kematian mengakibatkan masalah bagaimana penyelesaian hak-hak dan kewajiban .
Sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukup Perdata (KUHPerdata)
buku kedua tentang kebendaan dan juga dalam hukum waris Islam, dan juga hukum
waris adat.
Pada prinsipnya kewarisan adalah
langkah-langkah penerusan dan pengoperaan harta peninggalan baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud dari seorang pewaris kepada ahli warisnya. maksudnya
dari pewaris ke ahli warisnya. Akan tetapi di dalam kenyataannya prose serta
langkah-langkah pengalihan tersebut bervariasi, dalam hal ini baik dalam hal
hibah, hadiah dan hibah wasiat. ataupun permasalahn lainnya . Disini penulis
akan sedikit memaparkan bagaimana hukum kewarisan dalam persfektif hukum
perdata barat KUHPedata(BW), hukum waris Islam dan Hukum adat.
BAB II PEMBAHASAN
A. Hukum Waris Menurut BW
1.
PENGERTIAN
WARIS
Hukum waris ( erfrecht ) yaitu seperangkat
norma atau aturan yang mengatur mengenai berpindahnya atau beralihnya hak dan
kewajiban ( harta kekayaan ) dari orang yang meninggal dunia ( pewaris ) kepada
orang yang masih hidup ( ahli waris) yang berhak menerimanya. Atau dengan kata
lain, hukum waris yaitu peraturan yang mengatur perpindahan harta kekayaan
orang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain.
Menurut Mr. A. Pitlo,
hukum waris yaitu suatu rangkaian ketentuan – ketentuan, di mana, berhubung
dengan meninggalnya seorang, akibat- akibatnya di dalam bidang kebendaan,
diatur, yaitu : akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang
meninggal, kepada ahli waris, baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri,
maupun dengan pihak ketiga.
2.
UNSUR – UNSUR
PEWARISAN
Di dalam membicarakan hukum waris maka ada 3
hal yang perlu mendapat perhatian, di mana ketiga hal ini merupakan unsur –
unsur pewarisan :
1. Orang yang meninggal dunia / Pewaria / Erflater
Pewaris ialah orang yang meninggal dunia
dengan meningalkan hak dan kewajiban kepada orang lain yang berhak menerimanya.
Menurut pasal 830 BW, pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Menurut ketentuan
pasal 874 BW, segala harta peninggalan seorang yang meninggal dunia adalah
kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang – undang sekedar terhadap itu
dengan surat wasiat tidak telah diambil setelah ketetapan yang sah. Dengan
demikian, menurut BW ada dua macam waris :
Hukum waris yang disebut pertama, dinamakan
Hukum Waris ab intestato (tanpa wasiat). Hukum waris yang kedua disebut Hukum
Waris Wasiat atau testamentair erfrecht.
2. Ahli waris yang berhak menerima harta kekayaan itu
/ Erfgenaam
Ahli waris yaitu orang yang masih hidup yang
oleh hukum diberi hak untuk menerima hak dan kewajiban yang ditinggal oleh
pewaris. Lalu, bagaiman dengan bayi yang ada dalam kandungan ?. Menurut pasal 2
BW, anak yang ada dalam kandungan dianggap sebagai telah dilahirkan
bilamanakeperluan si anak menghendaki. Jadi, dengan demikian seorang anak yang
ada dalam kandungan, walaupun belum lahir dapat mewarisi karena dalam pasal ini
hukum membuat fiksi seakan – akan anak sudah dilahirkan.
Ahli waris terdiri dari :
Ø Ahli waris menurut undang – undang ( abintestato )
Ahli waris ini didasarkan atas hubungan darah
dengan si pewaris atau para keluarga sedarah. Ahli waris ini terdiri atas 4
golongan. Golongan I, terdiri dari anak – anak, suami (
duda ) dan istri ( janda ) si pewaris; Golongan II, terdiri dari bapak, ibu (
orang tua ), saudara – saudara si pewris; Golongan III, terdiri dari keluarga
sedarah bapak atau ibu lurus ke atas ( seperti, kakek, nenek baik garis atau
pancer bapak atau ibu ) si pewaris; Golongan IV, terdiri dari sanak keluarga
dari pancer samping ( seperti, paman , bibi ).
Ø Ahli waris menurut wasiat ( testamentair erfrecht )
Ahli waris ini didasarkan atas wasiat yaitu
dalam pasal 874 BW, setiap orang yang diberi wasiat secara sah oleh pewaris wasiat,
terdiri atas, testamentair erfgenaam yaitu ahli waris yang mendapat wasiat yang
berisi suatu erfstelling ( penunjukkan satu ataubeberapa ahli waris untuk
mendapat seluruh atau sebagian harta peninggalan ); legataris yaitu ahli waris
karena mendapat wasiat yang isinya menunjuk seseorang untuk mendapat berapa hak
atas satu atau beberapa macam harta waris, hak atas seluruh dari satu macam
benda tertentu, hak untuk memungut hasil dari seluruh atau sebagian dari harta
waris.
Jadi, dengan demikian ada tiga dasar untuk menjadi
ahli waris, yaitu, ahli waris atas dasar hubungan darah dengan si pewaris, ahli
waris hubungan perkawianan dengan si pewaris, ahli waris atas dasar wasiat.
3. Harta Waris
Hal – hal yang dapat diwarisi dari si pewaris,
pada prinsipnya yang dapat diwarisi hanyalah hak – hak dan kewajiban dalam
lapangan harta kekayaan. Hak dan kewajiban tersebut berupa, Aktiva ( sejumlah
benda yang nyata ada dan atau berupa tagihan atau piutang kepada pihak ketiga,
selain itu juga dapat berupa hak imateriil, seperti, hak cipta ); Passiva (
sejumlah hutang pewaris yang harus dilunasi pada pihak ketiga maupun kewajiban
lainnya ). Dengan demikian, hak dan kewajiban yang timbul dari hukum keluarga
tidak dapat diwariskan.
3.
HAK DAN KEWAJIBAN
PEWARIS
1. Hak Pewaris
Pewaris sebelum meninggal dunia berhak
menyatakan kehendaknya dalam testament atau wasiat yang isinya dapat berupa,
erfstelling / wasiat pengangkatan ahli waris ( suatu penunjukkan satu atau
beberapa orang menjadi ahli waris untuk mendapatkan seluruh atau sebagian harta
peninggalan ( menurut pasal 954 BW ), wasiat pengangkatan ahli wari ini terjadi
apabila pewaris tidak mempunyai keturunanatau ahli waris ( menurut pasal 917 BW
)); legaat / hibah wasiat ( pemberian hak kepada seseorang atas dasar wasiat
yang khusus berupa hak atas satu atau beberapa benda tertentu, hak atas seluruh
benda bergerak tertentu, hak pakai atau memungut hasil dari seluruh atau
sebagian harta warisan ( menurut pasal 957 BW )).
2. Kewajiban Pewaris
Pewaris wajib mengindahkan atau memperhatikan
legitime portie, yaitu suatu bagian tertentu dari harta peningalan yang tidak
dapat dihapuskan atau dikurangi dengan wasiat atau pemberian lainnya oleh orang
yang meninggalkan warisan ( menurut pasal 913 BW ). Jadi, pada dasarnya pewaris
tidak dapat mewasiatkan seluruh hartanya, karena pewaris wajib memperhatikan
legitieme portie, akan tetapi apabila pewaris tidak mempunyai keturunan , maka
warisan dapat diberikan seluruhnya pada penerima wasiat.
4.
HAK DAN KEWAJIBAN AHLI
WARIS
1. Hak Ahli Waris
Setelah terbukanya warisan ahli waris
mempunyai hak atau diberi hak untuk menentukan sikapnya, antara lain, menerima
warisan secara penuh, menerima dengan hak untuk mengadakan pendaftaran harta
peninggalan atau menerima dengan bersyarat, dan hak untuk menolak warisan.
2. Kewajiban Ahli Waris
Adapun kewajiban dari seorang ahli waris,
antara lain, memelihara keutuhan harta peninggalan sebelum harta peninggalan
itu dibagi, mencari cara pembagian sesuai ketentuan, melunasi hutang – hutang
pewaris jika pewaris meninggalkan hutang, dan melaksanakan wasiat jika
pewarismeninggalkan wasiat.
5.
PEMBAGIAN WARIS
MENURUT BW
1. Golongan I,
Merupakan ahli waris dalam garis lurus ke
bawah dari pewaris, yaitu anak, suami / duda, istri / janda dari si pewaris.
Ahli waris golongan pertama mendapatkan hak mewaris menyampingkan ahli waris
golongan kedu, maksudnya, sepanjang ahli waris golongan pertama masih ada,
maka, ahli waris golongan kedua tidak bisa tampil.
pasal 852 : Seorang anak biarpun dari
perkawinan yang berlain – lainan atau waktu kelahiran , laki atau perempuan,
mendapat bagian yang sama ( mewaris kepala demi kepala ). Anak adopsi memiliki
kedudukan yang sama seperti anak yang lahir di dalam perkawinannya sendiri .
Berbicara mengenai anak, maka, kita dapat
menggolongkannya sebagai berikut :
Ø Anak sah, yaitu anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan
sepanjang perkawinan dengan tidak mempermasalahkan kapan anak itu dibangkitkan
oleh kedua suami istri atau orang tuanya. Anak sah mewaris secara bersama –
sama dengan tidak mempermasalahkan apakah ia lahir lebih dahulu atau kemudian
atau apakah ia laki – laki atau perempuan.
Ø Anak luar perkawinan, yaitu anak yang telah dilahirkan
sebelum kedua suami istri itu menikah atau anak yang diperoleh salah seorang
dari suami atau istri dengan orang lain sebelum mereka menikah. Anak luar
perkawinan ini terbagi atas :
Ø Anak yang disahkan, yaitu anak yang dibuahkan atau
dibenihkan di luar perkawinan, dengan kemudian menikahnya bapak dan ibunya akan
menjadi sah, dengan pengakuan menurut undang – undang oleh kedua orang tuanya
itu sebelum pernikahan atau atau dengan pengakuan dalam akte perkawinannya
sendiri.
Ø Anak yang diakui, yaitu dengan pengakuan terhadap
seorang anak di luar kawin, timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak
atau ibunya tau dengan kata lain, yaitu anak yang diakui baik ibunya saja atau
bapaknya saja atau kedua – duanya akan memperoleh hubungan kekeluargaan dengan
bapak atau ibu yang mengakuinya. Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat dilakukan
dalam akte kelahiran anak atau pada saat perkawinan berlangsung atau dengan
akta autentik atau dengan akta yang dibuat oleh catatan sipil.
Menurut pasal 693, hak waris anak yang diakui;
1/3 bagian sekiranya ia sebagai anak sah, jika ia mewaris bersama – sama dengan
ahli waris golongan pertama, ½ dari harta waris jika ia mewaris bersama – sama
dengan golongan kedua, ¾ dari harta waris jika ia mewaris bersama dengan sanak
saudara dalam yang lebih jauh atau jika mewaris dengan ahli waris golongan
ketiga dan keempat, mendapat seluruh harta waris jika si pewaris tidak
meninggalkan ahli wari yang sah.
Jika anak diakui ini meninggal terlebih
dahulu, maka anak dan keturunannya yang sah berhak menuntut bagian yang
diberikan pada merka menurut pasal 863, 865.
Ø Anak yang tidak dapat diakui, terdiri atas; anak zina
( anak yang lahir dari orang laki – laki dan perempuan, sedangkan salah satu
dari mereka itu atau kedua – duanya berada dalam ikatan perkawinan dengan orang
lain ), anak sumbang ( anak yang lahir dari orang lki – laki dan perempuan,
sedangkan diantara mereka terdapat larangan kawin atau tidak boleh kawin karena
masih ada hubungan kekerabatan yang dekat. Untuk kedua anak ini tidak
mendapatkan hak waris, mereka hanya mendapatkan nafkah seperlunya.
a. : Bagian seorang isteri ( suami ), kalau
ada anak dari perkawinannya dengan yang meninggal dunia, adalah sama dengan
bagiannya seorang anak. Jika perkawinan itu bukan perkawinan yang pertama, dan
dari perkawinan yang dahulu ada juga anak – anak, maka bagian dari janda ( duda
) itu tidak boleh lebih dari bagian terkecil dari anak – anak yang meninggal
dunia. Bagaimanapun juga seorang janda ( duda ) tidak boleh mendapat lebih dari
½ dari harta warisan. Di atas disebut bahwa jika ada anak dari perkawinan yang
dahulu, maka bagian dari seorang janda ( duda ) tidak boleh lebih dari bagian
terkecil dari anak – anak peninggal warisan. Lebih dahulu telah ada ketentuan
bahwa bagian dari seorang anak adalah sama, meskipun dari lain perkawinan.
Untuk dapat mengerti arti dari kata ” terkecil ” itu, perlu diingat bahwa pasal
ini adalah pasal yang disusulkan kemudian yaitu dengan Stbld. 1935 No. 486,
dengan maksud supaya memperbaiki kedudukan seorang janda ( duda ) yang dengan
adanya pasal itu bagiannya dipersamakan dengan seorang anak.
2. Golongan II
Merupakan, ahli waris dalam garis lurus ke
atas dari pewaris, yaitu, bapak, ibu dan saudara – saudara si pewaris. Ahli
waris ini baru tampil mewaris jika ahli waris golongan pertama tidak ada sama
sekali dengan menyampingkan ahli waris golongan ketiga dan keempat.
Ø Dalam hal tidak ada saudara tiri :
854 : Jika golongan I tidak ada, maka yang
berhak mewaris ialah : bapak, ibu, dan saudara. Ayah dan ibu dapat : 1/3
bagian, kalau hanya ada 1 saudara; ¼ bagian, kalau ada lebihh dari saudara.
Bagian dari saudara adalah apa yang terdapat setelah dikurangi dengan bagian
dari orang tua.
855 : Jika yang masih hidup hanya seorang
bapak atau seorang ibu, maka bagiannya ialah : ½ kalau ada 1 saudara; 1/3 kalau
ada 2 saudara; ¼ kalau ada lebih dari 2 orang saudara. Sisa dari warisan,
menjadi bagiannya saudara ( saudara – saudara )
856 : Kalau bapak dan ibu telah tidak ada,
maka deluruh warisan menjadi bagian saudara – saudara.
857 : Pembagian antara saudara – saudara
adalah sama, kalau mereka itu mempunyai bapak dan ibu yang sama.
Ø Dalam hal ada saudara tiri :
Sebelum harta waris dibagikan kepada saudara –
saudaranya, maka harus dikeluarkan lebih dulu untuk orang tua si pewaris, jika
masih hidup. Kemudian sisanya baru dibagi menjadi dua bagian yang sama. Bagian
yang ke satu adalah bagian bagi garis bapak dan bagian yang kedua adalah
sebagai bagian bagi garis ibu. Saudara – saudara yang mempunyai bapak dan ibu
yang sama mendapat bagian dari bagian bagi gariss bapak dan bagian bagi garis
ibu. Saudara – saudara yang hanya sebapak atau seibu dapat bagian dari bagian bagi
garis bapak atau bagi garis ibu saja.
3. Golongan III
Merupakan, keluarga sedarah si bapak atau ibu
pewaris, yaitu kakek, nenek baik pancer bapak atau ibu dari si pewaris. Dalam
hal ini, ahli waris golongan ketiga baru mempunyai hak mewaris, jika ahli waris
golongan pertama dan kedua tidak ada sama sekali dengan menyampingkan ahli
waris golongan keempat.
853 : 858 ayat 1. Jika waris golongan 1 dan garis
golongan 2 tidak ada, maka warisan dibelah menjadi dua bagian yang sama.
Yang satu bagian diperuntukkan bagi keluarga
sedarah dalam garis bapak lurus ke atas; yang lain bagian bagi keluarga sedarah
dalam garis ibu lurus ke atas. Waris yang terdekat derajatnya dalam garis lurus
ke atas. Waris yang terdekat derajatnya dalam garis lurus ke atas mendapat
setengah warisan yang jatuh pada garisnya ( pancernya ). Kalau derajatnya sama,
maka waris itu pada tiap garis pancer mendapat bagian yang sama ( kepala demi
kepala ). Kalau di dalam satu garis ( pancer ) ada keluarga yang terdekat
derajatnya, maka orang itu menyampingkan keluarga dengan derajat yang lebih
jauh.
Pasal ini menguraikan keadaan jika anak ( dan
keturunannya ), isteri orang tua, dan saudara tidak ada. Maka di dalam hal ini
warisan jatuh pada kakek dan nenek. Karena tiap orang itu mempunyai bapak dan
ibu, dan bapak dan ibu itu mempunyai bapak dan ibu juga, maka tiap orang
mempunyai 2 kakek dan 2 nenek.
1 kakek dan 1 nenek dari pancer bapak dan 1
kakek dan 1 nenek dari pancer ibu. Dengan telah meninggalnya bapak dan ibu maka
adalah wajar jika warisan itu jatuh pada orang – orang yang menurunkan bapak
dan ibu. Di dalam hal ini maka warisan dibelah menjadi dua. Satu bagian
diberikan kepada kakek dan nenek yang menurunkan bapak dan bagian lain kepada
kakek dan nenek yang menurunkan ibu. Jika kakek dan nenek tidak ada maka
warisan jatuh kepada orang tuanya kakek dan nenek. Jika yang tidak ada itu
hanya kakek atau nenek maka bagian jatuh pada garisnya, menjadi bagian yang
masih hidup.
4. Golongan IV
Merupakan, sanak keluarga dalamgaris ke
samping dari si pewaris, yaitu paman, bibi.
858 ayat 2. Kalau waris golongan 3 tidak ada
maka bagian yang jatuh pada tiap garis sebagai tersebut dalam pasal 853 dan
pasal 858 ayat 2, warisan jatuh pada seorang waris yang terdekatpada tiap
garis. Kalau ada beberapa orang yang derajatnya sama maka warisan ini dibagi –
bagi berdasarkan bagian yang sama.
861. Di dalam garis menyimpang keluarga yang
pertalian kekeluargaannya berada dalam suatu derajat yang lebih tinggi dari
derajat ke – 6 tidak mewaris.
Kalau hal ini terjadi pada salah satu garis,
maka bagian yang jatuh pada garis itu,menjadi haknya keluarga yang ada di dalam
garis yang lain, kalau orang ini mempunyai hak kekeluargaan dalam derajat yang
tidk melebihi derajat ke – 6.
873. Kalau semua orang yang berhak mewaris
tidak ada lagi maka seluruh warisan dapat dituntut oleh anak di luar kawin yang
diakui.
832. Kalau semua waris seperti disebut di atas
tidak ada lagi, maka seluruh warisan jatuh pada Negara.
5. Ahli Waris berdasarkan Penggantian Tempat /
Ahli Waris Pengganti (Plaatsvervulling / representatie)
Adapun syarat – syarat untuk menjadi ahli
waris pengganti adalah sebagai berikut :
Ø Orang yang digantikan tempatnya itu harus telah
meninggal dunia terlebih dahulu dari si pewaris.
Ø Orang yang sudah meninggal dunia itu meninggalkan
keturunan .
Ø Orang yang digantikan tempat itu tidak menolak
warisan.
WARIS WASIAT (
TESTAMENT )
Suatu wasiat atau testament ialah suatu
pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelahnya ia meninggal.
Pasal 875, surat wasiat atau testament adalah
suatu akta yang berisi pernyataan sesorang tentang apa yang akan terjadi
setelah ia meninggal, dan yang olehnya dapat ditarikkembali.
SYARAT – SYARAT WASIAT
1. Syarat – Syarat Pewasiat
Pasal 895 : Pembuat testament harus mempunyai
budi – akalnya, artinya tidak boleh membuat testament ialah orang sakit ingatan
dan orang yang sakitnya begitu berat, sehingga ia tidak dapat berpikir secara
teratur.
Pasal 897 : Orang yang belum dewasa dan yang
belum berusia 18 tahun tidak dapat membuat testament.
2. Syarat – Syarat Isi Wasiat
Pasal 888 : Jika testament memuat syarat –
syarat yang tidak dapat dimengerti atau tak mungkin dapat dilaksanakan atau
bertentangan dengan kesusilaan, maka hal yang demikian itu harus dianggap tak
tertulis.
Pasal 890 : Jika di dalam testament disebut
sebab yang palsu, dan isi dari testament itu menunjukkan bahwa pewaris tidak
akan membuat ketentuan itu jika ia tahu akan kepalsuannya maka testament
tidaklah syah.
Pasal 893 : Suatu testament adalah batal, jika
dibuat karena paksa, tipu atau muslihat.
Selain larangan – larangan tersebut di atas
yang bersifat umum di dalam hukum waris terdapat banyak sekali larangan –
larangan yang tidak boleh dimuat dalam testament. Di antara larangan itu, yang
paling penting ialah larangan membuat suatu ketentuan sehingga legitieme portie
( bagian mutlak para ahli waris ) menjadi kurang dari semestinya.
JENIS – JENIS WASIAT
1. Jenis Wasiat menurut Isinya
Menurut isinya, maka ada 2 jenis wasiat :
Ø Wasiat yang berisi ” erfstelling ” atau wasiat
pengangkatan waris. Seperti disebut dalam pasal 954 wasiat pengangkatan waris,
adalah wasiat dengan mana orang yang mewasiatkan, memberikan kepada seorang atau
lebih dari seorang, seluruh atau sebagian ( setengah, sepertiga ) dari harta
kekayaannya, kalau ia meninggal dunia. Orang – orang yang mendapat harta
kekayaan menurut pasal itu adalah waris di bawah titel umum.
Ø Wasiat yang berisi hibah ( hibah wasiat ) atau legaat.
Pasal 957 memberi keterangan seperti berikut : ” Hibah wasiat adalah suatu
penetapan yang khusus di dalam suatu testament, dengan mana yang mewasiatkan
memberikan kepada seorang atau beberapa orang; beberapa barang tertentu, barang
– barang dari satu jenis tertentu, hak pakai hasil dari seluruh atau sebagian
dari harta peninggalannya. Orang – orang yang mendapat harta kekayaan menurut
pasal ini disebut waris di bawah titel khusus.
2. Jenis Wasiat menurut Bentuknya
Selain pembagian menurut isi, masih ada lagi beberapa
jenis wasiat dibagi menurut bentuknya. Menurut pasal 931 ada 3 rupa wasiat
menurut bentuk :
Ø Wasiat ologafis, atau wasiat yang ditulis sendiri
Wasiat ini harus ditulis dengan tangan orang yang akan
meninggalkan warisan itu sendiri, harus diserahkan sendiri kepada seorang
notaris untuk disimpan, penyerahan harus dihadiri oleh dua orang saksi.
Ø Wasiat umum ( openbaar testament )
Dibuat oleh seorang notaris, orang yang akan
meninggalkan warisan menghadap para notaris dan menyatakan kehendaknya. Notaris
ini membuat suatu akta dengan dihadiri oleh 2 orang saksi.
Ø Wasiat rahasia atau wasiat tertutup
Dibuat sendiri oleh orang yang akan meninggalkan
warisan, tetapi tidak diharuskan menuliskan dengan tangannya sendiri, testament
ini harus selalu tertutup dan disegel. Penyerahannya kepada notaris harus
disaksikan 4 orang saksi.
6.
PENCABUTAN DAN WASIAT
Di antara pencabutan dan gugurnya wasiat ada
perbedaan; pencabutan ialah di dalam hal ini ada suatu tindakan dari pewaris
yang meniadakan suatu testament, sedangkan, gugur ialah tidak ada tindakan dari
pewaris tapi wasiat tidak dapat dilaksanakan, karena ada hal – hal di luar
kemauan pewaris.
1. Tentang Pencabutan Suatu Wasiat
Mengenai pencabutan wasiat secara tegas ada
ketentuan – ketentuan seperti berikut :
992 : Suatu surat wasiat dapat dicabut dengan
; surat wasiat baru dan akta notaris khusus. Arti kata ” khusus ” di dalam hal
ini ialah bahwa isi dari akta itu harus hanya penarikan kembali itu saja.
2. Tentang Gugurnya Suatu Wasiat
997 : Jika suatu wasiat memuat suatu ketetapan
yang bergantung kepada suatu peristiwa yang tak tentu : maka jika si waris atau
legataris meninggal dunia, sebelum peristiwa itu terjadi, wasiat itu gugur.
998 : Jika yang ditangguhkan itu hanya
pelaksanaannya saja, maka wasiat itu tetap berlaku, kecuali ahli waris yang
menerima keuntungan dari wasiat itu.
B. Hukum Waris Dalam Islam
1.
RUKUN WARIS
Menurut bahasa,
sesuatu dianggap rukun apabila posisinya kuat dan dijadikan sandaran, seperti
ucapan: “saya berukun kepada Umar.” Maksudnya adalah “saya bersandar pada
pendapat Umar.”
Menurut istilah,
rukun adalah keberadaan sesuatu yang menjadi bagian atas keberadaan sesuatu
yang lain. Contohnya adalah sujud dalam shalat. Sujud dianggap sebagai rukun,
karena sujud merupakan bagian darai shalat. Karena itu, tidak dikatan shalat
jika tidak sujud. Dengan kata lain, rukun adalah sesuatu yang keberadaannya
mampu menggambarkan sesuatu yang lain, baik sesuatu itu hanya bagian dari
sesuatu yang lain maupun yang mengkhususkan sesuatu itu.
Dengan demikian,
rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta waris
di mana bagian harta waris tidak akan ditemukan bila tidak ada rukun-rukunnya.
Rukun-rukun untuk mewarisi ada tiga.
1. Al-Muwaris, yaitu
orang yang meninggal dunia atau mati, baik mati hakiki maupun mati hukmiy ‘suatu
kematian yang dinyatakan oleh keputusan hakim atas dasar beberapa sebab,
kendati sebenarnya ia belum mati, yang meninggalkan harta atau hak.
2. Al-Warits, yaitu
orang hidup atau anak dalam kandungan yang mempunyai hak mewarisi, meskipun
dalam kasus tertentu akan terhalang.
3. Al-Mauruts, yaitu
harta benda yang menjadi warisan. Sebagian ulama faraidh menyebutnya
dengan mirats atau irts. Termasuk dalam
kategorti warisan adalah harta – harta atau hak – hak yang mungkin dapat
diwariskan, seperti hak qishash (perdata), hak menahan barang
yang belum dilunasi pembayaranya, dan hak menahan barang gadaian.
2. Syarat Waris
Lafal syuruth
‘syarat – syarat’ adalah bentuk jamak dari syarath ‘syarat’. Menurut bahasa
syarat berarti tanda, seperti syarth as-sa’ah ‘tanda-tanda hari kiamat’. Allah swt berfirman.
Sedangkan syarat
menurut istilah adalah sesuatu yang karena ketiadaannya, tidak akan ada hukum.
Misalnya thahara ‘bersuci’ adalah syarat sahnya shalat. Jika
tidak bersuci sebelum melakukan shalat, niscaya shalatnya tidak sah. Akan
tetapi, melakukan thaharar bukan berarti hendak shalat saja.
Dengan demikian, apabila tidak ada syarat-syarat waris, berarti tidak ada
pembagian harta waris. Meskipun syarat-syarat waris terpenuhi, tidak serta
merta harta waris langsung dibagikan. Contoh untuk kasus ini adalah keberadaan
ahli waris yang masih hidup merupakan salah satu syarat mewarisi harta si
mayit. Jika syarat hidupnya tidak terpenuhi, tentunya pembagian harta waris
juga tidak bisa dilakukan. Meskipun syarat-syarat itu telah terpenuhi, tidak
serta merta ahli waris mendapatkan harta waris, karena ahli waris dapat
terhalang oleh ahli waris yang lain untuk mendapatkan bagian harta waris
kendati syarat mendapatkan harta waris telah terpenuhi. Oleh karena itu,
persoalan warisan memerlukan syarat-sayarat sebagai berikut.
Pertama, matinya orang yang
mewariskan. Kematian orang yang mewariskan, menurut ulama dibedakan menjadi
tiga: 1) mati hakiki (sejati); 2) matihukmiy (menurut
putusan hakim); dan 3) mati taqdiriy (menurut perkiraan).
Kedua, ahli waris yang hidup,
baik secara hakiki maupun hukmiy, setelah kematian si
mayit, sekalipun hanya sebentar, memiliki hak atas harta waris. Sebab Allah
swt. di dalam ayat-ayat waris dengan huruf lam yang mewujudkan
kepemilikan, di mana kepemilikan tidak terwujud, kecuali hanya bagi orang yang
hidup.
Adapun cara
penyelidikan hidup tidaknya ahli waris setelah kematian si mayit, dilakukan
dengan pengujian, pendeteksian, dan kesaksian dua orang yang adil. Contoh dari
hidupnya ahli waris secara hukmiy adalah anak yang berada di dalam
kandungan. Ia dapat mewarisi dari si mayit, jika keberadaannya benar-benar
terbukti di saat kematian si mayit, dengan satu syarat bahwasannya ia
benar-benar hidup ketika lahirnya nanti.
Ketiga, mengetahui
sebab-sebab yang mengikat ahli waris dengan si mayit, seperti garis kekerabatan
perkawinan, dan perwalian. Maksudnya, ahli waris harus mengetahui bahwa dirinya
adalah termasuk ahli waris dari garis kerabat nasab (kerabat yang tidak
memperoleh bagian tertentu, tetapi mendapatkan sisa dari ash-habul furudh atau
mendapatkan peninggalan bila tidak ada ash-habul furudhseorang
pun), atau garis kerabat nasab dan perkawinan, serta dari garis wala’.
Hal yang seperti itu diberitahukan karena setiap garis keturunan memiliki hukum
yang berbeda-beda.
3. SEBAB-SEBAB MEWARISKAN
Sebab menurut
bahasa ialah sesuatu yang menyampaikan kepada sesuatu yang lain, baik sesuatu
tersebut bisa diraba, seperti tali, sebagaimana firman Allah swt.,
فَلْيَمْدُدْ
بِسَبَبٍ إِلَى السَّمَاءِ ... Hendaklah ia
merentangkan tali ke langi...” (al-Hajj : 15), atau, sesuatu itu abstrak, seperti ilmu;
ia menjadi sebab kepadakebaikan, sebagai firman Allah
swt., وَآتَيْنَاهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا“….kami telah memberikan kepadanya jalan
(untuk mencapai) segala sesuatu.” (al-kahfi : 84).
Adapun sebab menurut istilah adalah satu hal yang mengharuskan
keberadaan hal yang lain, sehingga hal yang lain itu menjadi ada dan ketiadaan
satu hal itu menjadikan hal yang lain tidak ada secara substansial.
Contohnya api merupakan sebab terjadinya kebakaran.
Definisi ulama yang
mengatakan bahwa keberadaan sesuatu mengharuskan adanya sesuatu lain, dengan
sendirinya mengecualikan makna syarat, karena syarat tidak mengharuskan adanya
sesuatu.
Dengan demikian,
sebab-sebab adanya pewarisan adalah sesuatu yang mewajibkan adanya hak
mewarisi, jika sebab-sebabnya terpenuhi. Demikian juga hak mewarisi menjadi
tidak ada jika sebab-sebabnya tidak terpenuhi.
Sebab-sebab
mewarisi terbagi menjadi dua; pertama, yang disepakati;kedua,yang
diperselisihkan oleh para ulama faraidh. Sebab-sebab mewarisi yang disepakati,
ada tiga, yaitu sebagai berikut.
1. Sebab-Sebab Mewariskan yang Disepakati.
a. Kekerabatan
Kekerabatan ialah
hubungan nasab antara rang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi, yang
disebabkan oleh kelahiran, baik dekat maupun jauh. Dalil-dalil wariskarena
sebab kekerabatan, antara lain terdapat dakama firmana Allah swt., di bawah
ini.
يُوصِيكُمُ اللَّهُ
فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ
الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ
ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖوَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا
النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا
تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ
وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ
إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا
أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ
أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (an-Nisa : 11).
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا
تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ
لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِنْ بَعْدِ
وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۚ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا
تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ
وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ
تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً
أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا
السُّدُسُ ۚ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي
الثُّلُثِ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ
مُضَارٍّ ۚ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ
حَلِيمٌ
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu
itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah
dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari´at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun. (an-Nisa : 176).
Yang dapat mewarisi
dari garis hubungan kekerabatan adalah ushul ‘leluhur’ si
mayit, furu’ ‘keturunan’ mayit dan hawasyi si mayit
‘keluarga dari jalur horizontal’.
a. Golongan ushul adalah;
· Ayah,
kakek dan jalurnya keatas
· Ibu,
nenek (ibunya suamai dan ibunya istri), dan jalur keatasnya.
b. Golongan furu’ adalah;
· Anak
laki-laki, cucu, cicit dan jalur ke bawahnya.
· Anak
perempuan, cucu, cicit dan jalur ke bawahnya.
c. Golongan hawasyi adalah;
· Saudara
laki-laki dan perempuan secara mutlak, baik saudara kandung maupun, seayah,
atau seibu.
· Anak-anak
saudara kandung atau seayah.
· Paman
sekandung, seayah, dan anak laki-lakinya paman sekandung.
Terkadang, Faktor
nasab menjadi sebab seorang dapat mewarisi harta peninggalan dari dua jalur,
seperti anak laki-laki mewarisi bersama ayahnya, saudara laki-lakinya. Faktor
nasab pun dapat menjadi sebab seseorang mewarisi harta peninggalan dari satu
jalur, seperti anak laki-laki saudara laki-laki sekandung atau seayah mewarisi
bersama saudara perempuan ayah. Ketika saudara perempuan ayah meninggal dunia,
anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung atau seayah dapat mewarisi
harta peninggalan saudara perempuan ayah, dan bukan sebaliknya.
Demikian juga
ketika anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung atau seayah meninggal
dunia, saudara perempuan ayah tidak bisa mewarisi harta peninggalannya, karena
saudara perempuan ayah termasuk golongan dzawi al-arham, seperti
ibunya mewarisi bersama anak dari anak perempuannya. Oleh karena itu, nenek
dari ibu dapat mewarisi peninggalan cucu dari anak perempuan jika ia meninggal
dunia. Bukan sebaliknya, cucu dari anak perempuan tidak bisa mewarisi warisan
nenek dari ibu karena cucu dari anak perempuan termasuk golongan dzawi
al-arham. Ketetapan ini dibuat berdasarkan pendapat ulama yang
menegaskan bahwa golongan dzawi al-arham tidak bisa
mewarisi.
b. Pernikahan
Pernikahan
merupakan akad yang sah (menurut sytariat) sekalipun hubungan intim dan khulwah belum
dilakukan, dan meskipun orang yang menikah menderita sakit keras. Sementara
itu, Imam Malik berpendapat bahwa akad dianggap batal jika salah satu dari
orang yang menikah sakit keras. Kalau kondisinya demikian, waris-mewarisi tidak
dapat dilakukan.
Dalil yang
menyebutkan adanya ikatan perkawinan sebagai salah satu sebab terjadinya
waris-mewarisi adalah,
Lalu,
siapa saja dari ahli waris yang dapat mewarisi karena garis perkawinan? Mereka
adalah suami yang istrinya meninggal dan istri yang suaminya meninggal. Mereka
telah terikat dengan akad yang sah, mesikpun belum terhubung intim dan khulwah,
karena keumuman ayat, “ bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh istri-istrimu”. Seorang wanita menjadi istri seorang
laki-laki melalui akad perkawinan di mana ia tidak dapat menjadi seorang istri
melainkan dengan akad perkawinan yang sah.
c. Hak Waris bagi Istri yang Ditalak
Talak
ada yang berstatus raj’iy sewaktu-waktu bisa kembali, bain tidak
dapat kembali lagi, dalam keadaan sehat, atau dalam keadaan sakit keras. Bila
talak dilakukan ketika suami istri dalam keadaan sakit keras, waris-mewarisi
dapat dilakukan dan dalam kondisi yang lain tidak dapat dilakukan. Jika
talaknya adalahrajiy, yakni bila suami menalak istrinya dalam suatu
pernikahan yang sah, baik sudah digauli atau belum, yang kurang dari tiga kali
talak, dengan tanpa membayar mas kawin baru.
Talak rajiy tidak
dapat menjadi penghalang bagi laki-laki dan perempuan yang pernah memiliki akad
pernikahan untuk saling mewarisi, baik seseorang suami menalak istrinya dalam
keadaan sehat maupun sakit. Dengan demikian, hak suami-istri untuk saling
mewarisi tidak hilang. Jadi, bila suami meninggal dunia, dengan meninggalkan
istrinya yang sedang iddah rajiy, maka istrinya masih dapat
mewarisi harta peninggalan suaminya. Demikian pula sebaliknya, suami dapat
mewarisi harta peninggalan istrinya yang meninggal dunia sebelum masa iddah-nya berakhir.
Adapun
jika talaknya adalah bain (tidak dapat kembali) dan jatuh di
saat penalakannya dalam keadaan sehat, talak semacam ini dapat menghalangi hak
waris-mewarisi, dengan demikian, istri yang ditalak oleh suaminya, pada kondisi
seperti ini, tidak dapat mewarisi harta peninggalan suaminya, menurut
kesepakatan para ulama; karena putusnya ikatan perkawinan sejak talak
dijatuhkan. Demikian pula suami, tidak dapat mewarisi peninggalan istri, bila
istri meninggal dunia dalam kondisi seperti ini, karena sebab yang sama, yakni
putusnya tali perkawinan, sehingga hak waris-mewarisi menjadi hilang.
d. Wala’
Wala berarti tetapnya
hukum syara’ karena membebaskan budak. Dalam konteks ini, wala yang
dimaksud adalah wala al-ataqah, yakni yang disebabkan adanya
pembebasan budak, dan bukan dimaksudkan dengan wala al-mawlah danmuhalafah membebaskan
budak karena kepemimpinan dan adanya ikatan sumpah, karena keduanya mempunyai
muatan yang berbeda-beda dalam sebab-sebab pewarisan.
Adapun
yang dimaksud dengan wala al-ataqah adalah ushubah.
Penyebabnya adalah kenikmatan pemilik budak yang dihadiahkan kepada budaknya
dengan membebaskan budak melalui pencabutan hak mewakilkan dan hak mengurusi
harta bendanya, baik secara sempurna maupun tidak. Tujuannya adalah tathawwu melaksanakan
anjuran syariat atau kewajiban, sekalipun dengan imbalan. Dalam hal ini bentuk
pembebasan mengakibatkan pada penetapan hakwala.
Adapun yang dapat
mewarisi dengan sebab wala’ adalah pemilik budak laki-laki dan
perempuan yang telah melangsungkan pembebasan budak. Lalu, keduanya
menjadi ‘ashabah, yaitu ashabah bin nafs .
sebab, wala’ dapat mewarisi dan bukan diwarisi. Tanpa budak
yang dibebaskan, niscaya wala’ tidak dapat mewarisi dari
pembebasan budak atau tuannya. Dengan demikian, wala’dapat mewarisi
hanya dari satu sisi saja, yakni sisi orang yang memerdekakan budak.
2. Sebab-Sebab Mewariskan yang Diperselisihkan
Termasuk
sebab-sebab mewariskan yang diperselisihkan oleh para ulama faraid adalah
baitulmal dan wala al-muwalah. Berikut secara ringkas mengenai
keduanya.
a. Baitulmal
Para
ahli fiqih berselisih pendapat tentang baitulmal yang menjadi salah satu sebab
boleh tidaknya mewarisi. Dalah hal ini, ada tiga pendapat sebagaimana berikut.
Pertama,
baitulmal sebagai penyebab mewarisi secara mutlak, baik baitulmal yang
terorganisasi maupun tidak. Jika seorang muslim mengenai dunia dan tidak
mempunyai seorang pun ahli waris yang mewarisi harta peninggalannya, dengan
salah satu dari sebab-sebab mewarisi yang telah disepakati, maka baitulmal
berhak mewarisi harta peninggalan tersebut serta menggunakannya untuk
kemaslahatan kaum muslimin. Sebab, kaum muslimin pun dibebani kewajiban
membayar diyah (denda) untuk saudaranya sesama muslim yang
tidak berkerabat. Dengan demikian, kedudukan mereka bagaikan ashabah (golongan
yang mewarisi) dalam lingkungan kerabat. Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan
Malikiyah dan Imam Syafi’I dan qaul qadim pendapat lamanya
berbeda di Baghdad.
Kedua, baitulmal menjadi
ahli waris jika terorganisasi. Dengan demikian, andai seorang muslim meninggal
dunia tidak memiliki ahli waris sama sekali, harta peninggalan tersebut
diserahkan ke baitulmal, bukan atas dasar kemaslahatan tau kepentingan sosial,
tetapi untuk diwarisi oleh kaum muslimin secara ushubah. Pendapat
ini dikemukakan Imam Syafi’i dalam qaul jadid ‘fatwa-fatwa
beliau ketika beliau pindah ke Mesir’. Kalangn Malikiyah dan Syafi’iyyah yang
bersandar pada pendapat ini berargumentasi dengan sabda Rasulullah saw.,“Aku
adalah ahli waris yang tidak mempunyai ahli waris. Aku dapat membayar dendanya
dan mewarisi.”
Ketiga, baitulmal bukan
menjadi penyebab mewarisi secara mutlak, naik ia terorganisir maupun tidak. Ini
adalah pendapat kalangan Hanafiyyah dan Hambaliyyah. Kalangan ulama yang
berpegang pada pendapat ini bersandar pada firman Allah swt
وَالَّذِينَ
آمَنُوا مِنْ بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ فَأُولَئِكَ مِنْكُمْ
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ
اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Orang-orang yang
mempunyai hubungan kerabat itu, sebagian mereka lebih berhak terhadap sesamanya
(dari yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah.” (al-Anfaal
(8):75)
b. Wala
al-Muawalah
Wala
al-muwalah adalah waris-mewarisi dengan akad muawalah(perwalian).
Ada tiga pendapat mengenai waris-mewarisi dengan sebab wala al-muwalah di
dalam Islam. Pertama, wala al-muwalah sama sekali tidak
dikenal di dalam ajaran Islam. Pendapat ini diceritakan oleh ar-Rafiiy dari
al-Qhadi ar-Rayyaniy. Kedua, wala al-muwalah telah dikenal di
masa awal-awal Islam, kemudian di-nashkan. Ini adalah pendapat Imam
Malik, dan Imam Syafi’i.
B.4. BEBERAPA PENGHALANG DALAM HUKUM WARIS
Kata al-mawani beberapa
penghalang adalah bentuk jamak dari mani. Meurut bahasa, mani berarti
penghalang diantara dua hal. Contohnya, ini merupakan mani antara
ini dengan ini. Maksudnya, merupakan penghalang diantara keduanya. Sedangkan
menurut istilah mani berarti sesuatu yang mengharuskan
ketiadaan sesuatu yang lain. Tentu saja ketiadaan sesuati yang lain itu, tidak
serta merta bermakna secara substansial. Dengan demikian, mani adalah
keberadaannya, syarat adalah ketiadaannya, dan sebab adalah keberadaan dan
ketiadaannya.
Jadi,
yang dimaksud dengan beberapa penghalang mewarisi ialah keberadaan penghalang
yang menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan. Namun,
ketiadaan penghalang bukan berarti harus memberikan hak waris kepada seseorang.
Dengan kata lain, yang dimaksud dengan penghalang-penghalang mewarisi ialah
tindakan atau hal-hal yang dapat mengguhurkan hak seseorang untuk mewarisi
harta peninggalan setelah adanya sebab-sebab mewarisi.
Beberapa penghalang mewarisi terbagi menjadi dua bagian;
Pertama, bagian yang telah disepakati.
Kedua, bagian yang diperselihsihkan.
Bagian pertama
(bagian yang disepakati) ada tiga macam, yakni, berlainan agama, perbudakan,
dan pembunuhan. Ketiga macam ini telah disepakati oleh para ulama sebagai
penghalang-penghalang mewarisi, sehingga dinamakan denganmawani’.
Sedangkan yang kedua (yang diperselihsihkan), ada dua
macam; pertama, yang disepakati sebagai penghalang,
namun terjadi perselihsihan dalam penamaannya dengan mani’. Penghalang
macam ini adalah murtad (keluar dari agama). Para ulama fiqih telah bersepakat
bahwa murtad merupakan penghalang mewarisi harta peninggalan, namun
perselihsihannya hanya pada penamaan saja, yakni apakah namanya mani’ yang
independen atau dimasukkan dalam kategori penghalang berlainan agama; kedua, yang
diperselisihkan dalam menghalangi mewarisi dan dalam penamaannya sebagai mani’, adalah
ketidakjelasan waktu kematian dan berlainan negara.
1. Penghalang-penghalang yang Disepakati
a. Berlainan
Agama
Para ahli fiwih
telah bersepakat bahwasannya, berlainan agama antara orang yang mewarisi dengan
orang yang mewariskan, merupakan salah satu penghalang dari beberapa penghalang
mewarisi. Berlainan agama terjadi anatara satu agama dengan syariat yang
berbeda.
Agama ahli waris
yang berlainan merupakan penghalang untuk mewarisi dalam hulum waris. Dengan
demikian, orang kafir tidak bisa mewarisi orang Islam dan seorang muslim tidak
dapat mewarisi harta orang kafir. Sebagaimana sabda Nabi saw.
لايرث المسلم الكافر
ولا الكافر المسلم
“Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang harta orang kafir
dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam.” (HR
Mutafaq ‘alaih)
b. Perbudakan
Perbudakaan
dianggap sebagai penghalang waris-mewarisi ditinaju dari dua sisi. Oleh karena
itu, budak tidak dapat mewarisi harta peningggalan dari ahli warisnya dan tidak
dapat tidak dapat mewariskan harta untuk ahli warisnya. Sebab, ketika ia
mewarisi harta peninggalan dari ahli warisnya, niscaya yang memiliki warisan
tersebut adalah tuannya, sedangkan budak tersebut merupakan orang asing (bukan
anggota keluarga tuannya).
c. Pembunuhan
Pembunuhan ialah
kesengajaan seseorang mengambil nyawa orang lain secara langsung atau tidak.
Para ulama fiqih telah bersepakat bahwa pembunuhan merupakan salah satu
penghalang dalam hukum waris. Dengan demikian seorang pembunuh tidak bisa
mewarisi harta peninggalan orang yang dibunuhnya. Hal ini berdasarkan sabda
Nabi saw.
لايرث القاتل شئا
“seorang pembunuh tidak dapat mewarisi harta sedikit pun.”(HR Abu Daud).
2. Penghalang-Penghalang yang
diperselisihkan
a. Riddah
Adapun yang
dimaksud dengan riddah ialah keluar dari agam Islam. Orangnya
di sebut murtad, baik dalam keadaan dapat membedakan secara sadar, maupun dalam
keadaan bercanda. Para ulama fiqh bersepakat bahwasannya riddah dapat
menghalangi hak mewarisi. Seorang yang murtad tidak dapat mewarisi harta
peninggalan kerabatnya yang sama-sama murtad, orang kafir dan seorang muslim.
Dengan demikian, tidak ada jalan untuk saling mewarisi dari kerabatnya yang
sama-sama murtad karena harta peninggalannya merupakan fa’i (harta
benda atau kekayaan negara yang diperoleh dari nonmuslim dengan jalan menarik
pajak, bea, dan mengurus harta orang murtad).
b. Berlainan
negara di antara Sesama Orang Kafir
Termasuk dalam
kategori ini adalah kaum dzimmiy (golongan nonmuslim yang
mendapat perlindungan dari pemerintahan Islam yang mendapat perlindungan dari
pemerintahan Islam dan bersedia tunduk aturan pemerintahan Islam ), danmusta’min dan harbiy termasuk
dalam golongan warga negara dari dar harb (wilayah perang) karena
kemungkinannya dia kembali ke negara asalnya, sedangkan dzimmiy tergolong
warga negara Islam.
c. Ketidakjelasan
Waktu Kematian
Penghalang yang
ketiga ini (ketidakjelasan waktu kematian) telah disebutkan oleh Imam an-Nawawi
dalam kitab Minhaj.
“penghalang yang kelima dari penghalang-penghalang
waris-mewarisi ialah ketidak jelasan waktu kematian. Dengan demikian, bila
orang yang dapat mewarisi meninggal dunia bersama-sama, misalnya akibat
tenggelam, kebakaran, keruntuhan bangunan atau hilang di hutan, kemudian tidak
diketahui siapa di antara mereka berdua yang lebih dahulu meninggal dunia, muka
kedua-duanya tidak dapat saling mewarisi.”[1]
Hal tersebut
dikarenakan salah satu syarat waris-mewarisi ialah hidupnya orang yang mewarisi
di saat kematian orang yang mewariskan,sedangkan pada contoh yang di atas
syarat tersebut tidak terwujud. Dengan demikian, harta waris setiap mayit yang
meninggal akibat tenggelam atau yang lainnya dibagikan untuk ahli waris mereka
yang lain, karean Allah swt. Memberikan warisan kepada ahli waris yang masih hidup,
di mana harta waris tersebut diambil dari kerabat yang sudah meninggal dunia.
Sedangkan pada kesempatan ini, kita tidak mengetahui hidupnya ahli waris,
sehingga ahli waris itu tidak bisa mewarisi.
Adapun kebanyakan
ahli fiqh tidak menggap ketidakjelasan waaktu kematian merupakan salah satu
penghalang mewarisi, karena yang dimaksud dengan mani’ ialah
sesuatau yang menghimpun sebab dan syarat. Artinya, mani’akan
ditemukan bersamaan dengan adanya sebab dan syarat . ketiadaan waris-mewarisi
akibat ketidakjelasan waktu kematian disebabkan oleh ketiadaan syarat, yakni
kepastian hidupnya ahli waris di saat kematian orang yang mewariskan.
Dari pemaparan di
atas dapat disimpulkan bahwa penghalang-penghalang waris-mewarisi yang
sudah disebutkan terbagi menjadi tiga, yaitu sebagai berikut.
1) Hal-hal yang disepakati sebagai penghalang
waris-mewarisi, yang diberi nama dengan mani’ (penghalang),
dadalah berlainan agama, perbudakan, dan pembunuhan.
2) Hal-hal yang disepakati sebagai penghalang
waris-mewarisi, namun penamaannya diperselisihkan, yaitu kemurtadan.
3) Hal-hal yang
diperselisihkan sebagai penghalang dan penamaannya dengan mani’ adalah
berlainan negara diantara orang-orang kafirdzimmiy dan harbiy serta
ketidak jelsan waktu kematian.
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Perbandingan
waris dalam hukum waris islam, hukum perdata barat (BW, terdapat beberapa
persamaan dan perbedaan pengaturan waris. Dalam hal persamaan terdapat sepuluh
persamaan yaitu mengenai keadaan masyarakat dan pengaruh politik hukum terhadap
hukum waris, persamaan pengertian perwarisan, tujuan perwarisan, konsep harta
warisan harus sudah bersih, unsur-unsur pewarisan, sifat komulatif, sistematika
unsur, konsep harta, sistim pewarisan/pembagian, dan terbukanya warisan setelah
adanya kematian, namum tidak menutup kemungkinan masih ada hal-hal lain yang
sama dan masih belum dituliskan oleh penulis. Sedangkan untuk perbedaannya
terdapat 22 perbedaan hal itupun masih dirasa kurang oleh penulis.
Sedangkan
dalam Perbandingan Pengaturan Waris menurut Hukum Islam.Pengertian
pewarisan,Tujuan Pewarisan, Unsur-unsur pewarisan, Sifat kumulatif, Konsep
Harta, Sistim pewarisan/ pembagian, dan
terdapat 20 perbedaan.
Hal ini
menunjukkan bahwa dalam pengaturan waris di Indonesia terdapat bermacam-macam
pengaturan perwarisan, maka dari itu pemerintah menyerahkan urusan perwarisan
terserah pada hukum masing-masing golongan.
b. Saran
Untuk
masalah waris di serahkan sepenuhnya pada hukum masing-masing golongan,
diharapkan dalam pembgian waris ini harus adil, meskipun adil itu berbeda-beda
pemahamannya.
Untuk
anggota keluarga yang bukan ahli waris seperti anak angkat, dan kerabat yang
lain diharapkan tetap mendapatkan warisan seperti dalam pengaturan dalam KHI
yaitu wasiat wajibah.
Daftar/Referensi
1.
R, Subekti. 1977. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta:
Intermasa.
2.
Komite Fakultas Syariah Univ Al-Azhar, Mesir.
2004. Hukum Waris (ahkamul-Mawaarits fil-Fiqahil-Islami). Jakarta
: Senayan Abadi
4.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6967/warisan-dan-harta-gono-gini (diakses
tanggal 14 april 2015)
5.
http://www.indosiar.com/gossip/sidang-rebutan-warisan-adi-firansyah_60517.html (diakses
tanggal 14 april 2015)
6.
http://www.
wikipedia.org/wiki/Hukum_Waris
Comments
Post a Comment
silahkan comentar