Peralihan tanah adalah perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar hak atas tanah beralih dari yang mengalihkan kepada yang menerima pengalihan. Peralihan hak atas tanah ini ada juga yang menyebutnya dengan istilah "pemindahan" hak atas tanah.
Sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 20, 26, 28, 38, dan 43 Undang-undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA), maka
setiap hak atas tanah dapat beralih dan dialihkan. Dalam praktik peralihan hak
itu dapat berbentuk:
a. Jual beli;
b. Tukar-menukar;
c. Hibah;
d. Pemisahan dan pembagian harta warisan;
e. Pemisahan dan pembagian harta biasa (bukan warisan);
f. Penyerahan/hibah wasiat (legaat);
g. Penyerahan tanah sebagai modal perusahaan.
Dalam inisiasi ini akan dibahas dasar hukum peralihan hak atas tanah, pejabat yang
berwenang untuk mengalihkan, hak, bentuk akta peralihan hak, izin peralihan hak
dan pendaftaran peralihan hak atas tanah. Sebagai pelengkap dibahas pula
praktik peralihan hak atas tanah yang paling sering terjadi yaitu jual beli,
tukar menukar dan hibah
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA tidak memberikan penjelasan
mengenai jual beli tanah. Namun mengingat, hukum agraria nasional kita sekarang
ini didasarkan pada hukum adat, maka pengertian jual beli tanah harus pula
diartikan sebagai perbuatan hukum yang
berupa penyerahan hak milik (penyerahan tanah untuk selama-lamanya) oleh
penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga menyerahkan harganya kepada
penjual. Hal tersebut merupakan konsep jual beli tanah menurut pengertian hukum
adat.
Sebelum UUPA berlaku, terdapat dua pengertian jual beli tanah. Yaitu
menurut Hukum Barat, dan Hukum Adat.
Menurut hukum barat pengaturannya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPerdata). Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang
satu (penjual) mengikatkan dirinya untuk menyerahkan (hak milik atas) suatu
benda dan pihak yang lain (pembeli) untuk membayar harga yang telah dijanjikan
(Pasal 1457 KUH Perdata).
Pasal 1458 KUH Perdata menyatakan, bahwa jual beli itu dianggap telah
terjadi antara ke dua belah pihak pada saat mereka mencapai kata sepakat
mengenai benda yang diperjualbelikan beserta harganya, biarpun benda tersebut
belum diserahkan dan harganyapun belum dibayar.
Dengan jual beli itu saja
hak milik atas benda yang bersangkutan belumlah beralih kepada pembelinya,
sungguhpun misalnya harga sudah dibayar dan kalau jual beli tersebut mengenai
tanah, tanahnya sudah diserahkan ke dalam kekuasaan yang membeli. Hak milik
atas tanah tersebut baru beralih kepada pembelinya jika telah dilakukan apa
yang disebut “penyerahan yuridis" (juridische
levering) yang wajib diselenggarakan dengan pembuatan akta di muka dan oleh
Kepala Kantor Pertanahan selaku overschrijvings
ambtenaar menurut overschrijvings
ordonnantie (Stb. 1834 No. 27) (Pasal 1459 KUH Perdata). Jual beli dan
penyerahan hak merupakan dua perbuatan hukum yang berlainan. Penyerahan
yuridisnya wajib dilakukan dengan akta overschrijvings
ambtenaar. Beralihnya hak milik atas tanah yang dibeli itu hanya dapat
dibuktikan dengan akta tersebut. Perbuatan hukum itu lazim disebut "balik
nama" (terjemahan dari overschrijving)
aktanya disebut "akta balik nama" dan pejabatnya "pejabat balik
nama”.
Pada waktu dilakukan penyerahan yuridis itu, baik pembeli maupun penjual
kedua-duanya wajib hadir. Biasanya penjual melaksanakan penyerahan yuridis
untuk dan atas nama penjual, jika harganya sudah dibayar lunas.
Perjanjian jual beli pengaturannya termasuk hukum perjanjian (hukum
perikatan atau hukum perutangan), sedang penyerahan yuridisnya termasuk hukum
benda (hukum tanah atau hukum agraria).
Sebelum dilakukan penyerahan yuridis biasanya terdapat perjanjian dari
pihak penjual untuk menyerahkan haknya kepada pembeli, janji mana sungguhpun
merupakan kewajiban hukum belum tentu akan benar dilaksanakan. Selama itu
penjual masih merupakan pemilik dari tanah yang bersangkutan, biarpun tanah itu
sudah dikuasai oleh pembeli.
Menurut hukum adat jual
beli tanah bukan merupakan perjanjian seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 1457
KUH Perdata, melainkan suatu perbuatan hukum berupa penyerahan tanah yang
bersangkutan oleh penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya pada saat mana
pihak pembeli menyerahkan harga kepada penjual.
Dengan dilakukan jual
beli tanah, hak milik atas tanah itu beralih kepada pembeli. Sejak saat itu
menurut hukum, pembeli telah menjadi pemilik yang baru.
Harga tanah yang dibayar
itu bisa seluruhnya, tetapi dapat juga sebagian. Tetapi walaupun baru dibayar sebagian
menurut hukum dianggap telah dibayar penuh.
Jual beli tanah menurut
hukum adat bersifat kontan atau “tunai". Pembayaran harga dan penyerahan
haknya dilakukan pada saat yang bersamaan.
Pada saat itu, jual beli
tersebut menurut hukum telah selesai. Sisa harga yang menurut kenyataannya
belum dibayar, dianggap sebagai utang pembeli pada bekas pemilik, atas dasar
perjanjian utang piutang yang dianggap terjadi antara pembeli dan bekas pemilik
segera setelah jual beli tanah tersebut dilakukan.
Perjanjian utang piutang
itu tidak ada hubungan hukumnya dengan jual beli tanah tadi. Ini berarti, bahwa
jika kemudian pembeli tidak membayar sisa harganya, maka bekas pemilik tidak
dapat menuntut pembatalan jual beli dan penyerahan kembali tanah yang
bersangkutan. Penyelesaian pembayaran sisa harga tersebut harus dilakukan
menurut hukum perjanjian utang piutang.
Biasanya jual beli tanah
dilakukan di muka Kepala Adat (Desa), yang bukan hanya bertindak sebagai saksi
tetapi juga dalam kedudukannya sebagai Kepala Adat (Desa) menanggung bahwa jual
beli tersebut tidak melanggar hukum yang berlaku.
Dengan dilakukan di muka
Kepala Adat, jual beli itu menjadi "terang", bukan perbuatan hukum
yang "gelap". Dengan demikian maka pembeli mendapat pengakuan dari
masyarakat yang bersangkutan sebagai pemilik yang baru dan akan mendapat
perlindungan hukum jika dikemudian hari ada gugatan terhadapnya dari pihak yang
menganggap jual beli tersebut tidak sah.
Umumnya dari jual beli
tanah itu dibuatkan suatu akta, berupa pernyataan dari pihak penjual bahwa ia
telah menjual tanahnya kepada pembeli (istilah menurut hukum adat: jual lepas,
jual mutlak, adol turun maturun atau turun temurun, adol plas pati bogor, adol
kanggo salawase) dan telah menerima harga yang ditentukan; bahwa sejak saat itu
bukan pemilik lagi dari tanah yang bersangkutan; karena sudah beralih menjadi
milik pembeli. Adakalanya penyerahan tanah secara fisik harus dilakukan
beberapa waktu kemudian, misalnya karena masih ada tanaman milik penjual yang
belum dipanen.
Pengertian jual beli
menurut Hukum Adat sebagaimana diuraikan yang diambil sebagai hakikat jual beli
menurut UUPA. Pelaksanaannya tentu disesuaikan dengan keadaan dan sistem
pendaftaran tanah yang berlaku saat ini.
Sebelum jual beli
dilakukan antara pemilik tanah dan calon pembeli, sudah barang tentu sudah
dicapai kata sepakat mengenai jual beli itu, tanah mana yang akan dijual dan
berapa harganya, kapan jual beli akan dilakukan.
Kata sepakat itu
menimbulkan perjanjian, yang dapat disebut perjanjian akan (dilakukan) jual
beli. Menurut hukum adat, untuk sahnya perjanjian itu disyaratkan adanya
“panjer” uang atau benda yang oleh calon pembeli diserahkan kepada pemilik
tanahnya. Perjanjian jual beli itu tidak termasuk hukum agraria atau hukum
tanah, tetapi termasuk hukum perjanjian atau hukum perutangan.
Sistem hukum mana yang
berlaku bagi perjanjian akan jual beli? Jika pihak-pihak yang bersangkutan
tunduk pada Hukum Adat, maka hukum yang berlaku terhadap perjanjian itu adalah
Hukum Adat. Jika pihak-pihak yang bersangkutan tunduk pada Hukum Barat, maka
yang berlaku adalah hukum perjanjian yang terdapat dalam KUH Perdata perjanjian
itu bukan perjanjian jual beli yang dimaksudkan dalam Pasal 1457 KUH Perdata
pihak pemilik dan calon pembeli tunduk pada hukum yang berlainan, maka hukum
antar golongan yang akan menunjukkan hukum
mana yang berlaku.
Bagaimana acara jual beli
tanah yang sudah mempunyai sertifikat? Penjual dan pembeli datang ke kantor
PPAT yang berwenang membuat akta mengenai tanah yang dijual. Mereka
masing-masing dapat diwakili oleh seorang kuasa. Penjual harus mempunyai
wewenang untuk menjual dan pembeli harus memenuhi syarat sebagai subjek hak
atas tanah yang dijual. PPAT harus memastikan kedua hal itu.
Jika PPAT menganggap
perlu (misalnya jika ia meragukan wewenang orang yang akan mengalihkan hak yang
bersangkutan), ia dapat meminta supaya pembuatan akta disaksikan oleh Kepala
Desa dan seorang anggota pemerintahan desa dari tempat letak tanah yang akan
dijual. Dalam hal ini, mereka, khususnya Kepala Desa bukan hanya menyaksikan
dilakukannya jual beli tanah yang bersangkutan, melainkan juga menanggung bahwa
tanah yang dijual itu benar tanah Hak Milik dan penjual berwenang untuk
menjualnya.
Surat-surat yang harus diserahkan kepada PPAT adalah:
1. Sertifikat tanah yang hendak dijual.
2. Surat tanda bukti pembayaran pendaftaran jual beli yang
diadakan. Biaya pendaftaran dapat dibayar langsung kepada Kantor Pertanahan,
dapat pula dibayar melalui kantor pos terdekat. Biasanya pembayaran itu baru
merupakan uang muka karena belum diketahui secara pasti berapa biaya yang wajib
dibayar. Penyelesaiannya dilakukan pada waktu jual belinya dimintakan
pendaftaran pada Kantor Pertanahan. PPAT dilarang membuat akta jual beli
sebelum ketentuan tersebut di atas itu diserahkan kepadanya.
Kewajiban untuk
menyerahkan sertifikat dimaksudkan untuk mencegah jangan sampai terjadi
penjualan tanah lebih dari satu kali. Oleh karena itu setelah akta jual beli
dibuat, PPAT wajib menahan sertifikat tanahnya untuk disampaikan kepada Kepala
Kantor Pertanahan, kecuali kalau yang berkepentingan sendiri yang akan
menyampaikan. Tetapi bagaimanapun juga, sertifikat tersebut jangan berada di tangan penjual sesudah akta jual
beli dibuat. Kalau ada keragu-raguan mengenai kebenaran dari
keterangan-keterangan yang ada dalam sertifikat yang diserahkan kepadanya, maka
PPAT dapat meminta supaya yang bersangkutan meminta "Surat Keterangan
Pendaftaran Tanah" (SKPT) ke pada Kepala Kantor Pertanahan untuk
dicocokkan. PPAT pun wajib menolak permintaan untuk membuat akta jika tanah
yang akan dijual itu ternyata masih dalam perselisihan.
Jika yang datang
menghadap PPAT itu bukan pemilik dan pembeli sendiri melainkan kuasanya, maka
wajib diserahkan surat kuasa yang memberi wewenang kepadanya untuk melakukan
jual beli itu.
Jika pemilik yang namanya
tercantum pada sertifikat tanah sudah meninggal dunia, sedangkan yang akan
menjual itu ahli warisnya, maka perubahan itu harus dicatat lebih dahulu oleh
Kepala Kantor Pertanahan pada buku tanah dan sertifikatnya sebelum akta jual
beli dibuat oleh PPAT.
Setelah menerima
surat-surat yang diperlukan, PPAT membuat akta jual beli tanah dengan dihadiri
2 orang saksi. Akta jual beli beserta sertifikat dan warkah-warkah lain yang
diperlukan untuk pembuatan akta, oleh PPAT segera disampaikan kepada Kantor
Pertanahan yang bersangkutan. Akta dan lain-lainnya itu dapat juga dibawa
sendiri oleh yang berkepentingan ke Kantor Pertanahan, dengan memberikan tanda
penerimaan kepada PPAT. Setelah menerima dan memeriksa segala surat yang
bersangkutan, apabila semua beres maka langkah berikutnya ialah pendaftaran
jual beli dalam buku tanah yang bersangkutan dan pencoretan nama penjual dan
pencantuman nama pembeli dalam sertifikat.
Jika jual beli itu tidak
memerlukan izin pemindahan hak, maka
pendaftaran dalam buku tanah segera dilakukan. Demikian pula pencoretan nama
penjual dan pencantuman nama pembeli dalam sertifikat Iangsung diselesaikan
oleh Kantor Pertanahan. Tetapi bila diperlukan izin pemindahan hak, maka selain surat-surat
sebagaimana tersebut di atas disampaikan pula kepada Kepala Kantor Pertanahan
permohonan izin pemindahan haknya
(rangkap 4) disertai salinan akta jual belinya untuk diteruskan kepada instansi
pemberi izin . Kepala Kantor Pertanahan segera menyampaikan permohonan izin pemindahan hak kepada instansi yang berwenang.
Jika izin pemindahan hak diberikan atau
dianggap telah diberikan karena tidak diambil sesuatu keputusan oleh instansi
pemberi izin dalam tenggang waktu yang
ditentukan, maka diselenggarakan pendaftaran jual beli oleh Kepala Kantor
Pertanahan sebagaimana dijelaskan di atas. Jika permohonan izin pemindahan hak ditolak maka pada akta jual
beli (yang bermaterai) dibubuhkan catatan mengenai penolakan itu. Kemudian
semua warkah yang diterima, termasuk akta jual beli tersebut di atas dan
sertifikat, dikembalikan kepada yang berkepentingan. Kalau semula diterima dari
PPAT maka pengembalian warkah-warkah itu dilakukan dengan perantaraan pejabat
tersebut. Yang berkepentingan akan menerima kembali biaya pendaftaran yang telah
dibayarnya dan bagaimana cara jual beli tanah yang belum bersertifikat?
Tanah yang belum
bersertifikat kemungkinan adalah tanah yang sudah pemah didaftar menurut
peraturan sebelum berlaku PP No. 24/1997 dan PP No. 10/1961, atau tanah
Indonesia yang belum pemah didaftar tetapi karena perbuatan atau peristiwa
hukum tertentu wajib didaftar, atau tanah Indonesia yang belum pemah didaftar
dan belum wajib didaftar.
Sebelum PP No. 10 Tahun
1961 Jo PP No. 24 Tahun 1997 berlaku status tanah adalah:
a. Didaftar menurut overschrijvingsordonnantie (S 1834 no. 27)
b. Didaftar menurut Peraturan Menteri Agraria No. 9
tahun 1959 dan Ordonansi tersebut dalam staasblad
1873 No. 38.
c.
Didaftar
menurut Peraturan-peraturan khusus di daerah Istimewa Yogyakarta dan
Karesidenan Surakarta
Menurut PP No. 24/1997
tanah-tanah yang sudah didaftar, jika hendak dijual, harus terlebih dahulu
dibuatkan sertifikatnya. Jadi PPAT tidak boleh membuat akta jual beli jika
kepadanya tidak diserahkan sertifikat tanah yang bersangkutan.
Tanah Indonesia yang
belum pernah didaftar, tidak wajib diminta sertifikatnya. Tetapi jika tanah itu
telah dijual, dihibahkan, ditukar, diwariskan, dan peristiwa itu terjadi
setelah PP No. 10/1961 berlaku (24
September 1961) yang kemudian diubah oleh PP No. 24/1997, maka tanah itu wajib
didaftar. Jika tanah itu akan dijual atau dihibahkan atau ditukar, maka
terlebih dahulu sertifikatnya. Setelah sertifikat selesai barulah dapat
dilakukan jual beli, PPAT membuat aktanya sebagaimana sudah diuraikan di atas.
Tanah Indonesia
kemungkinan ada yang belum pernah didaftar dan belum wajib didaftar. Tanah
tersebut dapat dibuatkan aktanya tanpa harus mengurus lebih dahulu
sertifikatnya. Pengurusan sertifikat berlangsung sekaligus bersama proses
pendaftaran jual belinya (lihat PP No.
24/1997).
Berkaitan dengan hal
tersebut kepada PPAT yang akan membuat aktanya harus diserahkan:
1. Surat keterangan Kepala Kantor Pertanahan yang menyatakan, bahwa
hak atas tanah itu belum mempunyai sertifikat. Jika tanahnya terletak di daerah
kecamatan di luar kota tempat kedudukan Kepala Kantor Pertanahan, maka surat
keterangan tersebut dapat diganti dengan pernyataan dari pemiliknya yang
dikuatkan oleh Kepala Desa dan seorang anggota pemerintah desa dari tempat
letak tanah yang akan di jual itu. Selain surat keterangan atau pernyataan
tersebut perlu diserahkan juga bukti hak milik (biasanya petuk pajak bumi) dan
keterangan Kepala Desa yang membenarkan surat bukti hak itu, yang dikuatkan
oleh Asisten wedana.
2. Surat bukti pembayaran biaya pendaftaran jual beli.
Kalau PPAT telah menerima
surat-surat tersebut, maka dapat dibuat akta jual belinya. Saksi harus Kepala
Desa dan seorang anggota pemerintahan desa tempat tanah itu berada. Jadi
saksi-saksi tidak boleh sembarang orang.
Sebelum dilakukan
pendaftaran jual beli, harus lebih dahulu dibuatkan sertifikatnya. Selanjutnya,
uraian mengenai pendaftaran jual beli tanah yang sudah bersertifikat, berlaku
pula di dalam hal ini.
Dalam acara jual beli tanah ada 3 saat yaitu:
a. saat
akta dibuat
b. saat
diberikan izin
c. saat
pendaftaran
Persoalannya ialah pada
saat manakah hak atas tanah yang dijual beralih dari penjual kepada pembeli?
Kita tahu, bahwa saat beralihnya hak adalah pada peristiwa jual beli, tetapi
terdapat perbedaan antara Hukum Adat dan Hukum Barat. Mengenai saat beralihnya
hak tidak ada ketentuan yang tegas dalam peraturan perundangan.
Sesuai dengan Pasal 5
UUPA dimana Hukum Agraria berdasarkan Hukum Adat, maka kita harus menjawab
pertanyaan itu berdasarkan Hukum Adat. Menurut Hukum Adat, hak itu beralih pada
saat jual beli dilakukan. Jadi, pada saat itulah hak itu beralih pada pembeli.
Hal ini sesuai dengan kesadaran hukum rakyat, di mana kalau sudah dijual
tanahnya, diterima uangnya, ia tidak merasa “mempunyai" lagi.
Dapatlah kita katakan,
bahwa saat beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli, ialah ketika
dilakukan jual beli dihadapan PPAT.
Adapun fungsi pendaftaran
adalah untuk memperoleh alat pembuktian yang kuat mengenai keabsahan jual beli.
Kalau sudah didaftarkan, si pembeli sudah tercantum namanya dalam sertifikat.
Jadi, bukti bahwa ia pemilik tanah sudah kuat.
Pada waktu dilakukan jual
beli, haknya diserahkan, harga dibayarkan kepada pemilik, penuh atau sebagian.
Apabila pembayaran hanya sebagian, kemudian pembeli tidak mampu atau tidak mau
membayar sisanya, apakah hal ini dapat dikatakan sebagai “wanprestasi"
terhadap jual beli itu dan mengakibatkan batalnya jual beli?
Jika merujuk pada
ketentuan KUH Perdata hal tersebut
dimungkinkan tetapi Hukum Adat yang merupakan dasar UUPA, mengatur bahwa “jual beli adalah kontan/tunai"
walaupun baru dibayar sebagian tetapi dianggap sebagai penuh, sisanya dianggap
sebagai utang. Dalam hal demikian, pemilik (penjual) tidak dapat menuntut
pembatalan dan meminta kembali tanahnya, tetapi dapat menuntut pembayaran
piutangnya kepada yang berutang itu.
Sebelum jual beli
dilakukan, antara pihak pemilik tanah dan calon pembelinya tentu sudah dicapai
kata sepakat mengenai tanah yang akan dijualbelikan itu, berapa harga dan
bilamana jual beli tersebut akan dilaksanakan. Kata sepakat itu melahirkan apa
yang kita sebut sebagai "perjanjian akan jual beli".
Persoalan hukum yang
timbul ialah, apakah yang dapat dituntut oleh pihak yang lain, jika salah satu
pihak tidak memenuhi janji? Pihak pemilik misalnya tidak bersedia lagi menjual
tanahnya atau calon pembeli mengurungkan maksudnya membeli. Dapatkah calon
pembeli itu menuntut pelaksanaan jual beli yang telah diperjanjikan itu ataukah
tuntutan itu hanya terbatas pada pemberian ganti rugi saja? Kita telah mengetahui
bahwa perjanjian akan jual beli itu termasuk hukum perjanjian atau hukum
perutangan. Oleh karena itu maka jawabannya haruslah kita cari dalam hukum
perutangan yang berlaku terhadap perjanjian yang diperkarakan itu. Walaupun
demikian, hal tersebut harus memperhatikan juga sistem yang berlaku terhadap
jual beli tanah menurut pelaksanaan jual belinya.
Perjanjian akan jual beli
berakhir dengan penyelesaian panjer yang diberikan oleh calon pembeli kepada
pemilik tanahnya. Kalau jual beli batal karena calon pembeli mengurungkan
maksudnya, maka hilanglah panjer tersebut, artinya tidak dikembalikan
kepadanya. Sebaliknya jika pihak pemilik yang mengurungkan jual beli maka
panjer wajib dikembalikan, biasanya berlipat dua.
Bagaimana akibat ingkar
janji itu menurut sistem Hukum Barat? Menurut sistem hukum perjanjian barat
dimungkinkan untuk menuntut pelaksanaan dari apa yang telah diperjanjikan.
Dalam perjanjian akan
jual beli, pada waktu perjanjian, itu diadakan jual beli belum terjadi karena
jual beli itulah yang diperjanjikan. Oleh karenanya pada saat itu belum ada
pihak penjual dan pembeli. Yang ada baru pemilik tanah dan calon pembeli. Jual
beli yang diperjanjikan itu bukan perjanjian jual beli menurut Pasal 1457 KUH
Perdata.
Seperti kita ketetahui
bahwa jual beli tanah harus dilakukan oleh pemilik dan pembeli dihadapan PPAT,
yang akan membuat aktanya. Akta tersebut diperlukan sebagai barang bukti, bahwa
benar tanah yang bersangkutan telah dijual oleh pemilik kepada pembeli.
Kemudian setelah itu diselenggarakan pencatatan peralihan hak oleh Kepala
Kantor Pertanahan.
Persoalan lain akan
muncul seandainya ada keputusan pengadilan yang memberikan perintah kepada
pemilik untuk menjual tanah kepada calon pembeli, maka pelaksanaannya akan
menjumpai kesulitan apabila pemilik tersebut tetap menolaknya. Dapatkah calon
pembeli atas dasar keputusan pengadilan itu datang kepada PPAT dan meminta
supaya dibuatkan akta jual belinya? Suatu akta jual beli pada hakikatnya
berisikan catatan tentang dilakukan suatu jual beli. Dalam hal ini, jual beli
itu belum dilakukan, bahkan tidak akan mungkin dilakukan karena pihak penjual
tidak ada. Karena itu permintaan tersebut wajib ditolak oleh PPAT.
Jika demikian, apakah
keputusan pengadilan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai pengganti akta
PPAT itu, sehingga calon pembeli dapat meminta kepada Kepala Kantor Pertanahan
agar dilakukan pencatatan peralihan hak atas tanah yang bersangkutan kepadanya?
Keputusan pengadilan itu
hanya memuat perintah agar jual beli yang diperjanjikan itu dilaksanakan. Oleh
karena itu dengan keluamya keputusan tersebut haknya belumlah beralih kepada
calon pembeli. Berhubung dengan itu maka Kepala Kantor Pertanahan pun wajib
menolak permintaan tersebut.
Tidakkah ada cara untuk
memaksa pihak pemilik melaksanakan perintah pengadilan itu? Misalnya berupa
hukuman untuk membayar suatu jumlah tertentu kepada calon pembeli untuk setiap
hari keterlambatan melaksanakan perintah tersebut (perintah yang dikuatkan
dengan suatu "dwangsom")? Kalau hal tersebut itu dimungkinkan, maka
pada akhirnya keputusan pengadilan tadi sudah berubah sifatnya menjadi suatu
keputusan pemberian ganti rugi kepada calon pembeli.
Apakah akibat hukumnya
jika jual beli tanah tidak dilakukan dihadapan PPAT seperti diharuskan oleh
Pasal 37 PP no. 24/1997? Apakah jual beli itu sah menurut hukum? Artinya,
apakah perbuatan yang dilakukan itu menurut hukum merupakan jual beli yang
mengakibatkan beralihnya hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada pihak
pembeli? Haruskah jual beli tanah dibuktikan dengan akta PPAT itu yang, pada
hakikatnya merupakan suatu keharusan, bahwa jual beli itu dilakukan di hadapan
pejabat tersebut? Jika tidak demikian, bagaimana PPAT itu dapat membuat
aktanya? Atas dasar pertimbangan tersebut, maka perbuatan yang tidak dilakukan
di muka PPAT bukanlah jual beli yang mengakibatkan beralihnya hak atas tanah
yang bersangkutan kepada pembeli.
Sehubungan dengan masalah
di atas, Pasal 43 dan 44 PP No. 10/1961 (menurut Pasal 64 PP No. 24/1997, PP No. 10/1961 masih berlaku
sepanjang tidak diganti dengan PP baru) berfungsi sebagai sanksi dari ketentuan
Pasal 37 PP No.24/1997, harus dianggap sebagai petunjuk bahwa ketentuan
tersebut merupakan peraturan yang diadakan demi ketertiban umum (openbare orde). Jika dilanggar akan
membawa akibat, bahwa perbuatan yang dilakukan itu akan menimbulkan akibat
hukum yang tidak dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Tegasnya tidak
akan melahirkan jual beli. Paling jauh baru menimbulkan perjanjian akan jual
beli, yang masih perlu diikuti dengan jual beli sebenarnya, dan harus dilakukan
di muka PPAT, jika memang dikehendaki bahwa haknya beralih kepada pihak yang
telah membayar harga tanahnya.
Pendapat lain menyatakan,
bahwa Pasal 37 PP No. 24/1997 diadakan dalam rangka acara pendaftaran
pemindahan hak atas tanah, yang bertujuan memberikan alat pembuktian yang kuat
pada pembeli. Untuk dapat mendaftar atau
mencatat peralihan sesuatu hak atas tanah oleh Kepala Kantor Pertanahan
diperlukan suatu bukti bahwa memang benar telah dilakukan jual beli. Menurut
Pasal 37, bukti itu harus berupa akta yang dibuat oleh PPAT. Dengan sendirinya
PPAT hanya akan membuat akta jika jual beli dilakukan dihadapannya.
Walaupun demikian, hal
itu tidak berarti, bahwa jika tidak dilakukan di hadapan PPAT suatu jual beli
tanah yang telah memenuhi syarat-syarat material (baik mengenai penjual,
pembeli maupun tanahnya) menjadi tidak sah, artinya bukan suatu perbuatan hukum
yang mengakibatkan beralihnya hak atas tanah yang berangkutan kepada pihak yang
telah membayar harganya Pasal 37 tidak menentukan demikian.
Jika ada ketentuan
demikian, masih pula diragukan apakah akan mempunyai kekuatan hukum, karena hal
itu harus diatur dengan undang-undang.
Pada Pasal 43 dan 44 PP
No. 10/1961 pun tidak memuat ketentuan, bahwa jika terjadi pelanggaran
sebagaimana dimaksudkan di atas jual
beli yang dilakukan menjadi tidak sah. Pasal-pasal tersebut diadakan dengan
tujuan agar mereka yang bersangkutan tidak berbuat demikian, dan diharapkan
semua jual beli tanah dilakukan dihadapan PPAT.
Atas dasar pertimbangan
itulah, maka biarpun tidak dilakukan di muka PPAT (dan dengan demikian tidak
dibuat aktanya oleh PPAT), akan tetapi kalau syarat-syarat yang bersifat
material dipenuhi, jual beli itu adalah sah, artinya mengakibatkan beralihnya
hak yang bersangkutan kepada pembeli.
Jika jual beli itu tidak
dibuktikan dengan akta PPAT maka akan mengalami kesulitan berikut:
1. Pembeli mungkin akan mengalami kesukaran untuk pembuktian hak
atas tanah yang telah dibelinya itu.
2. Tanpa adanya akta PPAT, tidaklah mungkin untuk memperoleh izin pemindahan hak dari instansi agraria yang
berwenang.
3. Kepala Kantor Pertanahan pun akan menolak untuk melakukan
pencatatan peralihan haknya.
Apakah ia tidak dapat
meminta kepada pengadilan agar jual beli tanah itu dinyatakan sah menurut hukum
dan menyatakannya sebagai pemilik yang sah dari tanah yang dibelinya itu?
Menurut Effendi Perangin
(1986 : 29), sekarang di luar sengketa, orang tidak lagi dapat meminta kepada
pengadilan agar ia dinyatakan sebagai pemilik dari suatu bidang tanah. Tetapi
jika mengenai tanah itu terjadi perkara yang diajukan ke pengadilan, maka
dapatlah ia meminta kepada hakim agar jual beli tanah tersebut dinyatakan
mempunyai kekuatan hukum (sah).
Dapatkah ia dengan
keputusan itu datang kepada Kepala Kantor Pertanahan untuk meminta agar
diselenggarakan pencatatan peralihan haknya?
Dalam hal ini, menurut
pengadilan jual belinya telah terjadi, yang berarti bahwa hak sudah beralih
kepada pembeli. Mengingat bahwa fungsi akta PPAT adalah untuk membuktikan bahwa
benar telah terjadi jual beli tanah yang disebutkan di dalam keputusan
pengadilan, maka tidaklah ada keberatan bagi Kepala Kantor Pertanahan untuk
menyelenggarakan pencatatan peralihan hak kepada pembeli. Tetapi sudah barang
tentu pencatatan itu barulah dapat dilakukan setelah pembeli memperoleh izin pemindahan haknya dari instansi agraria yang
berwenang (kalau hal itu diperlukan).
Kesulitan praktis yang
dihadapi dalam menyelenggarakan pencatatan peralihan hak itu adalah, jika
tanahnya sudah dibukukan (jadi sudah dikeluarkan sertifikat haknya), tetapi
sertifikat itu tidak diserahkan kepada pembeli. Untuk menghindari kesulitan itu
maka sebaiknya pengadilan menyerahkan sertifikat hak tanahnya sebagai salah
satu bukti dalam perkara yang bersangkutan kepada pihak pembeli, sungguhpun
masih tercatat atas nama penjual. Dalam hal jual beli dilakukan dihadapan PPAT
pemilik selaku penjual wajib menyerahkan sertifikat haknya kepada pembeli.
Apabila Kepala Kantor
Pertanahan berkeberatan untuk menerima suatu keputusan pengadilan sebagai
pengganti akta PPAT, maka satu-satunya kemungkinan untuk dapat
diselenggarakannya pencatatan peralihan hak itu adalah dengan jalan mengulangi
jual beli itu dihadapan PPAT.
Kesulitan lain yang akan
dihadapi adalah, jika penjual tidak lagi atau tidak bersedia untuk
melakukannya. Dalam hal demikian, maka pembeli dan ahli warisnya, biarpun
menurut hukum sudah menjadi pemilik tanah yang bersangkutan, tidak akan mungkin
dapat mengalihkannya kepada pihak lain atau membebaninya dengan hak tanggungan.
A. TUKAR- MENUKAR HAK ATAS TANAH
Hak atas tanah dapat juga
berpindah karena tanah kepunyaan seseorang ditukar dengan tanah kepunyaan orang
lain.
Sebagaimana halnya dengan
jual beli, maka tukar menukar tanah bukan diartikan sebagai suatu perjanjian di
mana seorang pemilik tanah berjanji akan menyerahkannya kepada pihak lain,
tetapi merupakan perbuatan hukum yang berupa peralihan hak milik atas tanah
yang bersangkutan kepada pihak yang menukarnya. Hal ini tidak diatur dalam
hukum perjanjian, tetapi dalam hukum Tanah.
Menurut Pasal 37
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tukar menukar tanah harus dibuktikan
dengan akta yang dibuat oleh seorang PPAT. Bentuk akta tukar-menukar ditetapkan
juga dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan No. 6 Tahun 1989 Tentang
Penyempurnaan Bentuk Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Uraian mengenai pembuatan
akta, izin pemindahan hak pendaftaran,
persoalan-persoalan hukum dalam pembicaraan jual-beli berlaku pula
tukar-menukar dengan mengadakan penyesuaian seperlunya.
B. HIBAH HAK ATAS TANAH
Seperti halnya dengan
jual-beli dan tukar-menukar, maka hibah tanah pun bukan merupakan perjanjian
yang pelaksanaannya harus dipenuhi dengan penyerahan hak secara yuridis kepada
pihak yang menerima hibah, melainkan merupakan perbuatan hukum yang menyebabkan
beralihnya hak milik atas tanah bersangkutan kepada penerima hibah.
Perbedaan dengan
jual-beli adalah, pemilik dalam hibah tidak menerima imbangan sebagai ganti
dari tanah yang dihibahkan itu. Sebagai perbuatan hukum yang mengakibatkan beralihnya
hak milik atas tanah, maka hibah diatur dalam hukum tanah, dan menurut Pasal 37
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 harus dibuktikan dengan akta yang dibuat
oleh PPAT.
Contoh akta hibah juga
ditetapkan dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan No. 6 Tahun 1989 Tentang
Penyempurnaan Bentuk Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Segala ketentuan mengenai
jual-beli dengan berlaku pula untuk hibah dengan penyesuaian seperlunya.
Termasuk hibah adalah
pemberian tanah yang lazim dilakukan kepada anak-anak yang "mentas" sewaktu pemiliknya masih hidup. Dalam
perpustakaan Hukum Adat disebut toescheiding.
Karena termasuk Hukum Waris, maka selain ketentuan-ketentuan Hukum Tanah, perlu
pula diperhatikan ketentuan-ketentuan Hukum Waris yang berlaku terhadap
pemberi. Pewarisan demikian itu harus dibuktikan dengan akta PPAT dan
memerlukan izin pemindahan hak.
Kebiasaan di kalangan masyarakat Tapanuli untuk memberikan tanah kepada anak
perempuan yang menikah serta suaminya dapat digolongkan dalam pengertian hibah
ini.
1) Jelaskan apa yang dimaksud dengan
Jual beli hak atas tanah?
2) Jelaskan
apa yang dimaksud dengan tukar menukar hak atas tanah?
3) Jelaskan
apa yang dimaksud dengan hibah?
Comments
Post a Comment
silahkan comentar